10 November 1997
Saat itu umurku sekitar 4 tahun.
Masih duduk di bangku TK A (dulu TK Kecil). Aku punya seorang kakak perempuan
bernama Arum Sekar Pertiwi. Umurnya selisih 3 tahun denganku. Jadi, umurnya
saat itu sekitar 7 tahun. Sedikit banyak yang aku ingat tentangnya. Mungkin
karena aku masih terlalu kecil sehingga daya ingatku sangat terbatas. Meski
begitu, ada hal yang masih membekas hebat di kepalaku. Sebuah kejadian
memilukan dan menyedihkan sepanjang hidupku hingga saat ini. Sebuah kejadian
yang mungkin akan membuat orang lain juga merasakan bagaimana rasanya.
Matahari sudah tenggelam waktu
itu. Aku sedang duduk di ruang tamu rumah bersama ayahku saat kakakku
mendatangi ayahku dan ingin sekali dipangku olehnya. Tentu saja dengan senang
hati ayahku mendudukkan kakak tersayangku itu di pangkuannya. Mengobrol sedikit
banyak dengan ayahku hingga akhirnya datanglah dia. Malaikat penjemput nyawa
kepada Mbak Aar. Dengan dipangku ayah, sosok itu menghembuskan napas
terakhirnya.
Aku hanya bisa melihat saat hal
itu terjadi. Mungkin tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya
melihat dan terbengong saat ayahku memanggil nama ibu, dan budheku. Hingga
akhirnya aku hanya bisa mendengar tangis dari orang-orang di sekitarku itu.
Masih terlalu kecil untuk
memahami apa itu kematian dan kehilangan orang yang sebenarnya sangat disayangi
tanpa disadari. Aku cuma duduk dan melihat bagaimana kain kafan panjang itu
membungkus tubuh dan wajah cantik kakakku. Mungkin aku mengira ia hanya tidur
dan diberi selimut tebal agar hangat. Tapi, kenapa banyak orang mengerubungi
dan membacakan doa untuknya? Apa terlalu lugu atau aku memang terlalu bodoh
untuk menyadari bahwa sosok yang selalu menjadi temanku bertengkar telah pergi
untuk selamanya.
Apa saat itu aku benar-benar
tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi? Maafin adek, Mbak. Adek terlambat
mengerti kalau Mbak sudah tidak mungkin menemani Adek untuk main ataupun
bertengkar. Maaf ya, Mbak. Adek sayang sama Mbak Aar. Sayang banget, Mbak.
Saat dimakamkan, aku memang ikut
ke tanah pemakaman, tapi bodohnya aku, aku masih belum juga mengerti bahwa
kakak yang sangat aku sayangi telah pergi. Kenapa aku tak kunjung mengerti saat
itu? Aku juga hanya bisa duduk dan melihat saat pakdheku menggendong jazadnya
untuk dibawa ke pemakaman keluarga. Bahkan aku ingat, aku sempat bercanda
dengan sepupuku. Mbak, maafkan aku yang tak mengerti keadaan. Jazadnya telah
masuk ke liang lahat, dan sekali lagi, aku hanya bisa melihat dan tak ada
setitik air matapun menetes di wajah membasahi tembemku. Bodohnya aku sampai
tak mengerti aku telah kehilangan panutanku.
10 November 2011
Sekarang umurku sudah 18 tahun.
14 tahun telah berlalu sepeninggal kakakku. Aku menjadi anak tunggal setelah
hari itu. Tak bisa dibayangkan bagaimana rasanya menjadi anak tunggal, sepi.
Tak ada hal menyenangkan yang bisa dilakukan di rumah tanpa saudara.
14 tahun telah aku jalani dengan
kesendirian dan tittleku sebagai anak tunggal. Masih saja membekas di kepalaku,
bagaimana kebodohanku dulu. Ya, kebodohan untuk menyadari bahwa aku telah
kehilangan permata hati keluarga.
Bisa dibilang aku terlambat
menyadarinya, aku lupa kapan tepatnya aku mulai sadar bahwa kakakku itu telah
pergi dan tak akan pernah kembali. Yang jelas, aku terlambat, terlambat untuk
mengerti dan menyadari segalanya.
Masih teringat padaku juga,
dulu, aku masih sering mengimpikan bermain bersamanya saat aku tidur. Aku
ingat, aku pernah bermimpi bermain bersamanya di sebuah taman yang luas dan
indah. Kami berlari-lari mengejar kupu-kupu, sebuah hal yang tak mungkin ia
lakukan saat ia masih hidup. Dia memang
sakit, itulah yang menyebabkan Tuhan mengambilnya cepat dariku. Saat ia masih
hidup, masih aku ingat, ia jarang sekali bermain, fisiknya terlalu lemah. Beda
sekali denganku. Ibu bilang, kakakku pernah berkata bahwa ia iri denganku yang
bisa bermain dan berlari dengan bebas tanpa takut kelelahan atau apapun. Hal
ini menusukku saat aku sudah menyadari akan kehilangan itu.
Mungkin saat dia masih bernapas,
dia selalu merasa iri padaku, tapi, Mbak, adek nggak pernah bermaksud membuatmu
bersedih, maafkan aku yang tak mengerti keadaanmu saat itu.
Semakin aku bertambah umur, aku
semakin mengerti apa yang telah aku alami saat aku berumur 4 tahun dulu. Aku
mengerti sekarang, mengerti bahwa ia yang selalu hadir di mimpiku telah
benar-benar pergi. Ia pergi, meninggalkanku sendiri, meninggalkanku sendiri
untuk berjuang membahagiakan orang tuaku.
Aku hanya bisa menangis meratapi
kebodohanku dulu. Aku sungguh bukanlah adik yang baik, aku tak mengerti apa yang
sedang dialami kakakku dengan cepat. Aku terlambat menyadari. Sekarang,
jangankan dia hadir di mimpiku, kadang aku malah melupakannya. Oh, maaf, aku
tidak pernah bermaksud untuk melupakan. Mungkinkah ia marah padaku? Dia berhak
untuk marah padaku, benar-benar berhak. Aku telah benar-benar menggantikan
tempat yang aku yakin akan lebih cocok untuknya.
Sekarang, aku hanya bisa
menangis bila mengingat dia yang tak lama aku miliki. Hanya itu. Bila aku
sedang merindukannya, aku hanya bisa melihat foto yang masih tersimpan rapi di
dompetku. Membiarkan air mata menetes membasahi pipiku. Biar saja air mata ini
menjadi bukti, aku masih menyayanginya sampai detik ini. Berharap dia masih
mengingatku di tempatnya yang sekarang, berharap dia melihatku yang terus berjuang
untuk meneruskan tekadnya membahagiakan orang tuaku.
Tuhan, bila Engkau memang bisa
mendengarku, maka dengarkanlah permintaanku ini. Bawalah dia di sisimu yang
paling dekat. Lindungi dia dari segala ketersesatan neraka. Sampaikan rasa
sayangku yang berlebih padanya. Jadikanlah ia dekat dengan hatiku meski raga
kami tak mungkin bertemu. Sayangi dia melebihi aku menyayanginya, karena
sungguh, tak ada yang lebih indah dari kasih sayang-Mu. Tuhan, bila Engkau
memang mengerti apa yang sebenarnya terjadi, sampaikan maafku kepadanya.
Sampainya padanya bahwa aku benar-benar merindukannya. Sampaikan padanya bahwa
aku benar-benar mencintainya.
Dear my beloved sister,
Apa kabarmu di sana, hai kakakku
yang paling aku sayang? Kau tau, aku sangat merindukanmu. Benar-benar
merindukanmu.
Ohya, sekarang aku udah kuliah
lho. Masuk ke teknik sipil. Tadinya mau masuk kedokteran sama STAN. Tapi
ternyata gagal, hahaha. Mbak, aku kangen sama kamu. Apa sekarang kamu udah
senang di sana, mbak? Aku berharap iya. Mbak gak lagi sakit kan kayak dulu?
Pasti nggak. Aku yakin, Dia udah kasih kesehatan abadi buat mbak.
Mbak, aku pengen banget bisa
ngimpiin kamu lagi, tapi entah kenapa, sekarang aku gak pernah liat mbak Aar di
mimpiku. Padahal aku pengen banget.
Mbak, bapak sama ibu kangen juga
sama kamu. Pernah ibu bilang, ibu ngrasa mbak dateng malem-malem, kenapa gak
tinggal lebih lama?
Sekarang kita udah punya banyak
keponakan lho, hampir 5, yg 1 masih belum lahir. Wkwkwk…
Eyang kangen juga sama mbak Aar,
eyang juga sering banget ngrasain mbak ada di deketnya. Sama kayak pas eyang
ngrasa ada bulik Ninik dateng sama pakdhe Hadi. Rasanya pasti nyenengin ya kalo
udah bebas dari rasa sakit. Aku pasti bakal ngarasain, tapi gak tau kapan.
With you is what I’d rather be.
All I had is just a picture in a frame. Only your picture.
Mbak Aar yg baik ya di sana. Aku
yakin Allah bakal jaga mbak di sisi terbaik-Nya. Adek sayang sama mbak Aar.
Tapi adek gak tau, apa mbak juga sayang sama adek. Yang jelas, adek sayang
banget sama mbak.
Salam
Sayang Super
Etika Cahyaning Utami

0 comments:
Post a Comment