Thursday, November 10, 2011

10 November :'

                10 November 1997
                Saat itu umurku sekitar 4 tahun. Masih duduk di bangku TK A (dulu TK Kecil). Aku punya seorang kakak perempuan bernama Arum Sekar Pertiwi. Umurnya selisih 3 tahun denganku. Jadi, umurnya saat itu sekitar 7 tahun. Sedikit banyak yang aku ingat tentangnya. Mungkin karena aku masih terlalu kecil sehingga daya ingatku sangat terbatas. Meski begitu, ada hal yang masih membekas hebat di kepalaku. Sebuah kejadian memilukan dan menyedihkan sepanjang hidupku hingga saat ini. Sebuah kejadian yang mungkin akan membuat orang lain juga merasakan bagaimana rasanya.
                Matahari sudah tenggelam waktu itu. Aku sedang duduk di ruang tamu rumah bersama ayahku saat kakakku mendatangi ayahku dan ingin sekali dipangku olehnya. Tentu saja dengan senang hati ayahku mendudukkan kakak tersayangku itu di pangkuannya. Mengobrol sedikit banyak dengan ayahku hingga akhirnya datanglah dia. Malaikat penjemput nyawa kepada Mbak Aar. Dengan dipangku ayah, sosok itu menghembuskan napas terakhirnya.
                Aku hanya bisa melihat saat hal itu terjadi. Mungkin tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya melihat dan terbengong saat ayahku memanggil nama ibu, dan budheku. Hingga akhirnya aku hanya bisa mendengar tangis dari orang-orang di sekitarku itu.
                Masih terlalu kecil untuk memahami apa itu kematian dan kehilangan orang yang sebenarnya sangat disayangi tanpa disadari. Aku cuma duduk dan melihat bagaimana kain kafan panjang itu membungkus tubuh dan wajah cantik kakakku. Mungkin aku mengira ia hanya tidur dan diberi selimut tebal agar hangat. Tapi, kenapa banyak orang mengerubungi dan membacakan doa untuknya? Apa terlalu lugu atau aku memang terlalu bodoh untuk menyadari bahwa sosok yang selalu menjadi temanku bertengkar telah pergi untuk selamanya.
                Apa saat itu aku benar-benar tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi? Maafin adek, Mbak. Adek terlambat mengerti kalau Mbak sudah tidak mungkin menemani Adek untuk main ataupun bertengkar. Maaf ya, Mbak. Adek sayang sama Mbak Aar. Sayang banget, Mbak.
                Saat dimakamkan, aku memang ikut ke tanah pemakaman, tapi bodohnya aku, aku masih belum juga mengerti bahwa kakak yang sangat aku sayangi telah pergi. Kenapa aku tak kunjung mengerti saat itu? Aku juga hanya bisa duduk dan melihat saat pakdheku menggendong jazadnya untuk dibawa ke pemakaman keluarga. Bahkan aku ingat, aku sempat bercanda dengan sepupuku. Mbak, maafkan aku yang tak mengerti keadaan. Jazadnya telah masuk ke liang lahat, dan sekali lagi, aku hanya bisa melihat dan tak ada setitik air matapun menetes di wajah membasahi tembemku. Bodohnya aku sampai tak mengerti aku telah kehilangan panutanku.

                10 November 2011
                Sekarang umurku sudah 18 tahun. 14 tahun telah berlalu sepeninggal kakakku. Aku menjadi anak tunggal setelah hari itu. Tak bisa dibayangkan bagaimana rasanya menjadi anak tunggal, sepi. Tak ada hal menyenangkan yang bisa dilakukan di rumah tanpa saudara.
                14 tahun telah aku jalani dengan kesendirian dan tittleku sebagai anak tunggal. Masih saja membekas di kepalaku, bagaimana kebodohanku dulu. Ya, kebodohan untuk menyadari bahwa aku telah kehilangan permata hati keluarga.
                Bisa dibilang aku terlambat menyadarinya, aku lupa kapan tepatnya aku mulai sadar bahwa kakakku itu telah pergi dan tak akan pernah kembali. Yang jelas, aku terlambat, terlambat untuk mengerti dan menyadari segalanya.
                Masih teringat padaku juga, dulu, aku masih sering mengimpikan bermain bersamanya saat aku tidur. Aku ingat, aku pernah bermimpi bermain bersamanya di sebuah taman yang luas dan indah. Kami berlari-lari mengejar kupu-kupu, sebuah hal yang tak mungkin ia lakukan  saat ia masih hidup. Dia memang sakit, itulah yang menyebabkan Tuhan mengambilnya cepat dariku. Saat ia masih hidup, masih aku ingat, ia jarang sekali bermain, fisiknya terlalu lemah. Beda sekali denganku. Ibu bilang, kakakku pernah berkata bahwa ia iri denganku yang bisa bermain dan berlari dengan bebas tanpa takut kelelahan atau apapun. Hal ini menusukku saat aku sudah menyadari akan kehilangan itu.
                Mungkin saat dia masih bernapas, dia selalu merasa iri padaku, tapi, Mbak, adek nggak pernah bermaksud membuatmu bersedih, maafkan aku yang tak mengerti keadaanmu saat itu.
                Semakin aku bertambah umur, aku semakin mengerti apa yang telah aku alami saat aku berumur 4 tahun dulu. Aku mengerti sekarang, mengerti bahwa ia yang selalu hadir di mimpiku telah benar-benar pergi. Ia pergi, meninggalkanku sendiri, meninggalkanku sendiri untuk berjuang membahagiakan orang tuaku.
                Aku hanya bisa menangis meratapi kebodohanku dulu. Aku sungguh bukanlah adik yang baik, aku tak mengerti apa yang sedang dialami kakakku dengan cepat. Aku terlambat menyadari. Sekarang, jangankan dia hadir di mimpiku, kadang aku malah melupakannya. Oh, maaf, aku tidak pernah bermaksud untuk melupakan. Mungkinkah ia marah padaku? Dia berhak untuk marah padaku, benar-benar berhak. Aku telah benar-benar menggantikan tempat yang aku yakin akan lebih cocok untuknya.
                Sekarang, aku hanya bisa menangis bila mengingat dia yang tak lama aku miliki. Hanya itu. Bila aku sedang merindukannya, aku hanya bisa melihat foto yang masih tersimpan rapi di dompetku. Membiarkan air mata menetes membasahi pipiku. Biar saja air mata ini menjadi bukti, aku masih menyayanginya sampai detik ini. Berharap dia masih mengingatku di tempatnya yang sekarang, berharap dia melihatku yang terus berjuang untuk meneruskan tekadnya membahagiakan orang tuaku.
                Tuhan, bila Engkau memang bisa mendengarku, maka dengarkanlah permintaanku ini. Bawalah dia di sisimu yang paling dekat. Lindungi dia dari segala ketersesatan neraka. Sampaikan rasa sayangku yang berlebih padanya. Jadikanlah ia dekat dengan hatiku meski raga kami tak mungkin bertemu. Sayangi dia melebihi aku menyayanginya, karena sungguh, tak ada yang lebih indah dari kasih sayang-Mu. Tuhan, bila Engkau memang mengerti apa yang sebenarnya terjadi, sampaikan maafku kepadanya. Sampainya padanya bahwa aku benar-benar merindukannya. Sampaikan padanya bahwa aku benar-benar mencintainya.

                Dear my beloved sister,
                Apa kabarmu di sana, hai kakakku yang paling aku sayang? Kau tau, aku sangat merindukanmu. Benar-benar merindukanmu.
                Ohya, sekarang aku udah kuliah lho. Masuk ke teknik sipil. Tadinya mau masuk kedokteran sama STAN. Tapi ternyata gagal, hahaha. Mbak, aku kangen sama kamu. Apa sekarang kamu udah senang di sana, mbak? Aku berharap iya. Mbak gak lagi sakit kan kayak dulu? Pasti nggak. Aku yakin, Dia udah kasih kesehatan abadi buat mbak.
                Mbak, aku pengen banget bisa ngimpiin kamu lagi, tapi entah kenapa, sekarang aku gak pernah liat mbak Aar di mimpiku. Padahal aku pengen banget.
                Mbak, bapak sama ibu kangen juga sama kamu. Pernah ibu bilang, ibu ngrasa mbak dateng malem-malem, kenapa gak tinggal lebih lama?
                Sekarang kita udah punya banyak keponakan lho, hampir 5, yg 1 masih belum lahir. Wkwkwk…
                Eyang kangen juga sama mbak Aar, eyang juga sering banget ngrasain mbak ada di deketnya. Sama kayak pas eyang ngrasa ada bulik Ninik dateng sama pakdhe Hadi. Rasanya pasti nyenengin ya kalo udah bebas dari rasa sakit. Aku pasti bakal ngarasain, tapi gak tau kapan.
                With you is what I’d rather be. All I had is just a picture in a frame. Only your picture.
                Mbak Aar yg baik ya di sana. Aku yakin Allah bakal jaga mbak di sisi terbaik-Nya. Adek sayang sama mbak Aar. Tapi adek gak tau, apa mbak juga sayang sama adek. Yang jelas, adek sayang banget sama mbak.

                                                                                                                Salam Sayang Super
Etika Cahyaning Utami

Sunday, November 6, 2011

I've Lost Everything

Kalau saja aku bisa menemukan apa yang aku sebut dengan kemenangan hati. Saat aku berusaha untuk tetap menjadi seseorang yang baik dan tak penuh dengan rasa takut. Aku terlalu takut, takut untuk kehilangan, takut untuk mendapatkan. Aku sedikit merasa ragu bila aku harus memilih, karena aku memang tak pintar untuk memilih.
Aku kehilangan, kehilangan arah, bagaimana aku bisa menemukan kembali dia yang pernah ada di hatiku. Kehilangan memang menyakitkan, tapi paling tidak, aku sudah terbiasa dengan kehilangan itu. Sebuah padang gersang mulai berkembang di dadaku sekarang. Terlalu sakit memang, tapi, untuk apa dan apa yang menjadi alasanku untuk menyesalinya.
Tuhan menciptakan kehilangan untuk melengkapi keberadaan dan kedatangan. Untuk apa menyesali kehilangan jika kau pernah mengalami pertemuan. Saat akal sehatku mulai tak berkutik, ingin rasanya aku sudahi kehilangan itu. Tapi apa yang bisa aku lakukan? Tak ada dan tak akan pernah ada.
Aku sudah mulai terbiasa dengan kehilangan dan rasa sakit itu. Sangat terbiasa. Harapanku hanya ada satu, aku ingin bisa membuat apa yang dinamakan kehilangan itu menjadi sesuatu yang menyenangkan dan mudah untuk aku lupakan. Menunggu kehilangan itu pergi, menunggu kehilangan itu merubah sifat dasarnya yang menyakitkan.
When everything are changing. I hope I could get my own decision. Somewhere I hope to be there. Something I hope to be real. And sometime I hope to feel.
Percuma aku mencoba untuk melupakan apa yang tak mungkin bisa aku lupakan. Saat aku mengingat betapa aku ingin sesuatu itu tetap berada di sisiku. Saat itu juga aku merasa terkhianati. Saat ia berjanji untuk tetap setia, saat itu juga dia telah pergi. Mungkin aku memang tak pantas menerima semua yang menyenangkan dalam hidupku, namun, apa aku benar-benar tak pantas? Ataukah aku memang hina untuk semua itu?
Janji, mungkin aku sudah tak lagi percaya dengan hal seperti itu. Aku terlalu takut untuk terkhianati dengan janji itu. Tolong, jangan buat aku tersakiti untuk yang kesekian kalinya karena janji. Sebesar apapun aku berusaha untuk tidak memutus janjiku, lebih besar lagi aku mendapat janji yang tak tertepati.
Kesakitan akan kehilangan, siapa yang tak mengenal hal itu? Aku bahkan sudah bersahabat dengan kesakitan itu. Bagai aku terlahir bersama dengan kesakitan itu.
Tolong, jangan buat janji lagi padaku, kalau memang kau tak mampun untuk menepati janji itu, tolong jangan pernah kau mengatakan janji itu. Mungkin aku memang terlalu penakut, tapi, inilah aku. Aku memang takut untuk kehilangan, kehilangan bila ia memang telah masuk ke dalam sisi terjauhku.
I know, you’ll never know what I feel right now. But, one thing you have to know, lose something doesn’t always mean get the new one. I hope you’ll understand how hard I try to forget you and everything you gave to me. As hard as I remember you for long time.
Memories of you, still be in my heart. Even I try to move it out. Turn off all of my memories of you.
You’re the first and the last hurt I got, yes, I hope so. J

GALAU GELAAAAAAAA

                Haiih... Aku bingung harus ngomong apa, perasaanku campur aduk gak karuan, ada perasaan takut, sedih, senang, bahagia, kawatir, dan masih banyak lagi. Hawa-hawanya aku ingin segera membuang semua perasaan itu. Tapi sayangnya, super super susah. Galau? Mungkin. Aku sebel kalau ada yang bilang aku ini ratu galau, tapi pliss, aku emang suka galau, tapi ya gak gitu juga kaleeeee -_-
                Pernah suatu kali aku gak galau, eh, ada aja temen yang bilang, “Tik, kamu kok tumben gak galau?” Sekarang salah siapa coba? Aku galau pada protes, aku gak galau juga pada protes, berasa apa aja gitu. Mungkin emang aku rada suka aneh sendiri kalo gak galau, padahal biasanya aku selalu duduk sendiri, mikir, kadang sampai nangis. Lebih anehnya lagi, aku kadang gak ngerti lagi ngegalauin apa. Baka.....
                Omegosh.. Tau kah kau? Saat aku mengetik ini, laptop sedang memainkan lagu, Right Here Right Now, salah satu OST High School Musical. Jadi makin galau guweeeeeh.... Kangen T.T
                Eits, jangan tanya dulu aku kangen sama apa atau siapa, yang jelas, aku sedang merasa benar-benar kangen, untuk apa dan siapa, masih rahasia yaaaaa. Aku memang terbiasa memendam semuanya sendiri. Gak peduli itu seneng atau sedih. Makanya itu aku selalu terlihat galau. Kalo pada protes aku galau, jangan protes terus donk, kan kalian gak tau apa alasanku galau :P
                Ngetik sendiri di kamar macam ini, nambah jadi makin galau. Apalagi ini adalah malam Minggu. Malamnya pada jomblo keluar dan mencari mangsa. Tapi aku? Tidur lebih enak kali ya?
                Oh tidak, lagi, yang keluar lagunya Kerispatih yang Tapi Bukan Aku. Sial sekali aku malam ini, ngeshuffle playlist dan yang keluar semua lagu yang bikin kangen. *minum baygon*
                Ah iya, baru inget juga, malam ini sebenarnya ada Pensaga 2011. Guest starnya salah satu band kesukaanku, GIGI. Namun sayang beribu sayang, aku gak bakal bisa nonton. Pertama, berhubung saya masih jomblo, mau nonton sama siapa nanti? Masa mau gandeng tangan sendiri, gak lucu banget. Kedua, udah ada janji buat gak nonton Pensaga ke ortu. Ketiga, kalo nonton, berarti harus beli tiket, kalo beli tiket, berarti harus keluar duit, kalo keluar duit, berarti harus motong uang makan waktu di kost. Omegosh, mau jadi apa aku nanti. Tapi hal yang bikin aku sedih gak bisa ke Pensaga cuma gak bisa ketemu sama temen-temen seperjuangan waktu SMA. Jujur, aku kangeeeeeeeen banget sama mereka semua. Pengen deh ketemu terus kumpul sama mereka semua.
                Hidupku oh hidupku, rasanya cuma berisi kesedihan dan kesedihan. Padahal udah ada janji buat gak sedih atau apapun yang melow-melow. Berhubung saya ini orangnya terlalu pemikir, yaudah, mikir aja terus deh.
                Salah apa aku malam ini? Kenapa kepalaku tiba-tiba terisi pikiran soal UTS kalkulus? Hawanya bener-bener bikin nangis. Kalkulusku kacau balau, sekacau hatiku #plaaakkkk
                Kalkulusku bikin aku pengen nangis, semua prediksi soal yang udah didiskusiin sama temen-temen waktu belajar bareng pada gak keluar. Mana yang keluar malah soal yang sama sekali gak tersentuh waktu belajar, ini gara-gara salah satu temanku mengatakan, “Udah, gak keluar itu soal.” Jadilah kelompok belajarku  gak nyentuh soal itu. Salahnya *lirik Momon* tuh. Hahaahhaha
                Sudahlah, toh pak dosen udah tau kita sekelas bakal her (lagi), soalnya beliau udah bilang, “Ini soalnya dikerjakan lagi untuk tugas, ya.” Hahaha maaf ya, pak. Kami memang rada susah kalo soal kalkulus. Biar aja deh, yang penting UTS udah kelar, waktunya fokus ke UAS. Semangat!!! :D

Hell-O
Apa kabar semuaaaa?? Udah lama ya aku gak ngepost di blog? Pasti pada kangen aku ya? :hammer:
Aku sekarang udah jagi orang sibuk nih. Hahahaha.
Harap maklum yah, aku emang lagi super sibuk sekarang. Udah jadi mahasiswi sih, jadinya ya gini deh. Ini sih masih belum terlalu sibuk, belum turun tugas besar, tapi yakin deh, bentar lagi habis tugas besar turun, pasti bakal lebih sibuk lagi dan waktu buat nulis juga bakal kepotong terus. Sedih ya :crying
Ah, sudahlah, yang penting, kalau punya waktu buat nulis, pasti akan kusempatkan menulis lagi. Aku kangen nulis :'(

Such A Nightmare





Bagiku, kebahagiaan orang tuaku adalah hal yang paling aku inginkan di dunia ini. Terkadang aku berpikir, apa yang bisa aku lakukan untuk membuat orang tuaku bahagia? Apa yang bisa aku lakukan? Mungkinkah orang tuaku benar-benar bahagia dengan apa yang telah aku raih sekarang? Meski mereka mengatakan mereka tetap bangga mempunyai aku di hidup mereka, tapi aku merasa aku masih belum pantas menerima kebanggaan itu.


STAN oh STAN, kenapa kau tega menolakku? Kau tahu betapa aku sangat membutuhkanmu. Aku ingin membuat orang tuaku bangga dan senang saat melihat anaknya bisa masuk STAN, cepat bekerja dan cepat mapan. Tapi entah apa yang telah dipersiapkan untukku. STAN sudah menolakku mentah-mentah. Sebenarnya tak hanya STAN yang menolakku, tapi juga FK. Dokter, sebenarnya juga itu adalah cita-citaku sejak jaman purba. Aku ingin jadi dokter, tapi entah mengapa juga, dia juga menolakku.

Rasanya sangat sakit yah saat tahu kau telah kehilangan 2 impianmu. Benar-benar sakit. Saat ini saja aku harus berusaha menenangkan diri agar aku tak terus terpuruk dalam kesedihan yang terlalu panjang. Aku tahu ada yang telah dipersiapkan untukku, hal terbaik dari-Nya untukku. Aku selalu berusaha menjejalkan kata-kata, “Allah knows best” dalam otakku. Tapi bagaikan hanya angin lalu, masih saja aku merasa sangat galau dengan hal itu.

Kehilangan mungkin bukan hal yang menyenangkan, ingin rasanya aku menghilangkan rasa kehilangan itu. Tapi sepertinya hal itu akan sangat sulit. Kehilangan cita-cita adalah salah satu hal terberat dalam hidupku. Seperti di hantam batu besar, aku harus menerima keadaan ini. Memang berat, tapi bila semua dijalani dengan ikhlas, semua akan baik-baik saja.

Sedikit menangis memang saat sadar aku sudah kehilangan 2 impianku paling berharga. Apalagi 2 impian itu kupikir bisa membuat orang tuaku bangga dan bahagia. Tangisku bisa semakin parah saat aku mengingat juga bahwa aku harus berjuang sendiri di jalan yang berat ini. Tak ada yang berusaha benar-benar menghiburku, sepertinya tak ada yang tahu bagaimana rasanya. Aku harus berusaha menghibur diri sendiri dan terus mendoakan diriku sendiri juga.

Ngomong-ngomong soal berdoa, bukannya aku tak ingin mendoakan orang lain mendapatkan jalan terbaiknya, tapi tak tahu kenapa, muncul pertanyaan di kepalaku, siapa yang akan mendoakanku nanti? Mungkin mereka yang aku doakan juga akan mendoakanku agar aku diberi kesabaran menghadapi jalan baruku ini. Bukannya aku juga mau berprasangka buruk terhadap orang lain, tapi hal ini jujur keluar dari dalam hatiku. Mungkinkah itu? Tapi kan doa tidak bisa dipaksakan. Kalau aku memang ingin mendoakan orang lain, maka aku harus ikhlas bukan? Soal aku akan didoakan atau tidak, entahlah, biar orang itu dan Sang Pencipta yang tahu.

Terkadang aku juga berpikir, kenapa mereka harus mengumbar kesuksesan mereka, seolah mereka ingin mengatakan pada dunia, “Hei, aku berhasil menaklukan apa yang belum tentu orang lain bisa taklukan”. Seperti diinjak-injak rasanya saat mendengar hal itu. Aku memang sudah gagal dari jalan pilihanku sebelumnya, tapi aku pantas menerima tamparan keras saat aku mendengar hal itu? Semua berputar-putar di kepalaku.

Aku takut, takut bila aku tak berhasil di jalan ini. Aku takut bila aku tak mampu menghadapi hal ini. Aku takut bila aku menyerah dan membiarkan diriku terbawa arus terlalu jauh. Aku takut bila aku nekad melakukan hal yang tak diijinkan oleh Sang Pemilik. Aku takut bila kesedihan ini membawaku ke gerbang hitam kesedihan tak berujung. Benar-benar takut.

Penghiburan mungkin adalah hal yang paling aku butuhkan saat ini. Tapi sayangnya, seolah tak ada yang bisa menghiburku. Aku bahkan harus menghibur diriku sendiri. Aku tahu, aku sendiri yang gagal dan orang lain mungkin tidak punya tanggung jawab untuk menghiburku, tapi sungguh, aku membutuhkan hal itu. Selama ini saat aku sedang sedih atau down, aku hanya bisa menghibur diriku sendiri, tak ada yang mampu menghiburku dengan baik dan benar. Jadi yah, menghibur diri sendiri. Padahal aku selalu berusaha menghibur orang lain saat mereka sedang bersedih.

Kalau saja menangis bisa memperbaiki keadaan, aku mungkin sudah mendapatkan 2 impianku itu, sayang seribu sayang, menangis tidak akan membuatku lebih baik.



(Pojokan kamar kost yang penuh rahasia. 25 Oktober 2011 saat tes terakhir STAN berlangsung di luar sana)