Tuesday, June 15, 2010

Sebelah Tangan Saja

“Awan!!”, aku berlari mendekati Awan,”Bukumu ketinggalan.”, kataku ngos-ngosan di hadapannya.

“Waduh. Makasih ya,Ta. Harusnya kamu nggak perlu repot-repotlari Cuma buat ngasi bukuku.”, katanya manis.

“Ah… Nggak apa kok,Wan. Sekalian olahraga. Jadi, santai aja.”. Aku beranjak pergi meniggalkan Awan bersama dengan sebuah kenanga yang tak terlupakan.

Namaku Tami. Masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Meski umur hampir 17 tahun, tapi belum pernah punya gandengan. Sedikit masalah memang, karena hampir semua teman-temanku pernah merasakan yang namanya pacaran. Minder. Tapi apa boleh buat, mungkin ini emang yang harus terjadi dulu. Jadi, dibawa enjoy ajalah.

Jangan pernah mengira aku tidak menyukai lawan jenis hanya karna aku belum pernah pacaran. Dari semua cinta yang pernah kurasakan, pada akhirnya hanya merupakan cinta bertepuk sebelah tangan saja. Itu sebabnya aku belum juga punya pacar di umurku ini. Inilah salah satu kisah cintaku yang berujung dengan tetes air mata.

----------------------------------------------------------------------------------------

Hari itu di awal kelas 2, seorang murid baru pindahan dari kota gudeg, Yogya, masuk ke kelasku. Namanya Awan Prayoga Bramantyo. Kesan pertama yang aku lihat darinya: tinggi, baik, sopan(mungkin karena ada darah Yogya kali ya?) dan…. tampan. Penilaian satndar yang diberikan oleh cewek-cewek saat mereka melihat sosok lelaki asing di hadapan mereka. Perasaan yang aku rasa saat pertama aku melihatnya tak lebih dari sekedar teman biasa.

Ta, besok ulangan Jepang. Contekin ya..

Kubuka ponselku dan kubaca SMS yang baru masuk itu. Tersenyum aku membalasnya.

Ah… Awan. Kamu mah sama aja kayak yang lainnya. Kalo aku mau nyontekin, mau kamu kasi apa??

Kutekan option send, dan pesan balasan pun terkirim. Inilah akibatnya jika kamu telah dicap sebagai master di slah satu mata pelajaran. Jika akan ada ulangan, sehari sebelumnya pasti akan kebanjiran order contekan. Aku tidak mengeluh, aku justru bangga. (hehehehe.. ^^)

Wew… Apalanmu, ta. Lha kamu maunya apa?? Tak beliin permen 1 aja ya?? Hahahaha.. Ayolah, Ta. Baik dikit ngapa? Ntar nggak cantik lagi lho.

Cantik? Aku paling tidak suka jika ada orang yang mengatakan cantik padaku. Biasanya aku akan langsung marah. Tapi entah kenapa aku tak bisa marah. Ada apa?

Halah! Ngasut koe, Wan. Hahahaha… Iyo, sesuk tak contoni. Tapi permen koyo’e enak. XP.

Dan aku pun kembali tersenyum. Astaga… apa yang telah terjadi padaku? Aku sudah lama tidak merasa sesenang ini setelah lama aku harus merelakan cinta sebelah tanganku pergi. Apa aku perlahan telah menyukainya? Atau mungkin aku telah mencintainya?

---------------------------------------------------------------------------------------

“Ah…. Kenapa harus pulang jam segini. Pake acara hujan lagi. Gimana caranya aku pulang coba.”, keluhku sepulang sekolah hari berikutnya.

“Lha emang kenapa,Ta?”, tiba-tiba Awan telah berdiri di sebelahku.

“Lah.. Rumahku jauh, Wan. Harus naek bus 2 kali.”

“Gak bawa motor?”

“Hahahaha.. motor? Orang naek sepeda aja gak bisa.”, kataku geli.

“Ckckckck. Makanya belajar naek sepeda dulu neng trus belajar naek motor. Boar gak repot. Atau kalo gak, nyari tebengen aja. Rumahmu daerah mana tho?”

“Wew. Ogah ah. Ngapain nyari tebengan. Bus masih banyak. Rumahku jauh. Daerah atas.”

“O… Apa mau tak anterin pulang aja?”, aku tersentak kaget.

“Ah.. nggak usah. Ntar malah ngrepotin kamu lagi.”, aku menolaknya tapi ia tetap kekeuh. Hingga akhirnya ia menyerah dan pulang setelah berpamitan padaku.

Kutatap punggung tegap itu saat melangkah menjauh. Sedih rasanya saat senyum itu harus pergi dariku barang sebentar saja. Aku ingin senyum itu tetap ada di sisiku, menemaniku. Kulangkahkan kaki keluar area sekolah dengan perasaan gontai ditemani tetes-tetes hujan membasahi tubuhku.

--------------------------------------------------------------------------------------------

Bali.. Here we go!!!”, 40 anak kelas IPA 5 berteriak saat bus 5 keluar dari gerbang sekolah. Hari ini, hingga 5 hari mendatang, aku dan ratusan siswa kelas 2 akan berpariwisata ke Bali. Sebuah momen yang sangat menyenangkan.

“Ta, aku minta makanan dong.. Laper nih!”, suara itu membuyarkan lamunanku. Aku menengok ke belakang dan kulihat Awan sedang mengais-ngais tas makananku seenak hatinya.

“Heh!! Mau apa kamu? Buka-buka tas orang sembarangan.”, tegurku.

“Minta makanan.”, jawabnya enteng.

“Ampun deh,Wan. Emanganya kamu nggak bawa makanan sendiri?”

“Bawa sih. Tapi lebih enak minta.”. aku hanya tersenyum mendengar kata-kata konyolnya itu.

Kuraih tasku dan cari-cari makanan di dalamnya. Kuserahkan biskuti keju ke tangannya. Ia pun tersenyum. Senyum yang menjadi favoritku semenjak bertemu dengannya.

Sekitar 12 jam aku harus duduk dalam bus. Rasanya capek sekali. Ingin segera aku turun dari bus dan mencium udara luar. Akhirnya semua dapat bernapas lega saat bus yang kami tumpangi keluar dari kapal menginjak tanah Bali.

Selesai mandi dan sarapan di tempat transit. Kami bergegas menuju objek wisata hari ini. Berkeliling di Nusa Dua, berdesak-desakan di Joger, dan sunset di pantai Kuta. Hari kedua wisata berlangsung terlalu cepat. Tapi kita semua harus menuju ke hotal untuk beristirahat agar besok dapat melnjutkan wisata kami dengan nyaman. Sebelum menuju ke kamar, aku sempat ngobrol sebentar dengan Awan untuk mengucapkan selamat tidur. Sebuah ciuman hangat mendarat di keningku. Sebuah ciuman dari cowok bukan keluargaku yang kudapat untuk pertama kalinya. Ini membuat hatiku bergejolak terlalu kuat hingga aku ingin menangis rasanya saat itu juga.

Tidurku gelisah. Aku terus kepikiran dengan ciuman itu apa arti ciuman itu? Mengapa ia melakukannya? Pertanyaan-pertanyaan it uterus muncul di kepalaku. Aku tak bisa menutup mataku hingga pagi menjelang. Padahal di hari ini banyak tempat-tempat wisata belanja dan tempat-tempat oke yang harus dikunjungi. Mulai dari pusat oleh-oleh makanan, belanja souvenir di Kresna, dan Garuda Wisnu Kencana.

“Yah, kenapa aku ditinggal sendirian.”, keluhku saat kami tiba di GWK. Teman-teman mendahuluiku dan akibatnya aku harus berjalan sendiri di temapt yang sama sekali belum pernah aku kenal. Sebuah tangan hangat menggandeng tangan dinginku. Aku menoleh dan Awan telah berdiri di sampingku sambil menggenggam erat tanganku.

“Sendirian aja,neng. Mau kemana?”, ia menggoda.

“Gak tau ni,bang. Gak tau arah.”, balasku menggoda.

“Yasudah. Ikut saya saja ya neng. Ntar malah si eneng ilang.”

“Okelah, bang. Tolong jangan tinggalkan saya.”. Awan menarikku pelan menuju ke tempat pertunjukan. Ia menggandeng erat tanganku seolah ia tak ingin melepasnya. Sekali-kali ia melepas tangannya hanya untuk mengambil gambar. Setelah itu pun ia masih menggandeng tanganku erat. Aku senang sekaligus malu. Belum pernah aku digandeng begitu erat. Tangan hangat menggenggam tangan dinginku.

“Tuhan, kenapa harus hujan deres gini.”, kataku saat aku harus berlari menuju bus di bawah guyuran hujan bersama Awan. Akhirnya kami sampai di bus yang baru terisi oleh 7 orang teman ini. AC sudah menyala dan udara menjadi sangat dingin. Aku bergegas ke kursiku, mematikan AC di atasku, melepas jaket basah, dan bergelung seperti kucing yang mengahangatkan diri. Sebuah jaket kering melayang menutupi tubuhku. Kulihat nama tertera di jaket itu. CLOUD. Awan? Terasa hangat sekali.

“Pake jaketku dulu,Ta. Untung tadi nggak tak pake. Dipake ya. Biar nggak sakit.”, terdengar siulan kecil di sekelilingku. Pasti teman-teman yang sudah ada di bus.

Sebelum turun dari bus aku menunggu hingga agak sepi dan aku ingin mengembalikan jaket Awan.

“Wan, makasi ya jaketnya. Membantu.”,katakau malu-malu sambil menyodorkan jaket itu.

“Oke deh, Ta. Sama-sama, lain kali bawa jaket 2, biar kalo yang satunya basah masih ada cadangan.”, katanya dengan manis. Ia letakkan punggung tangannya di dahiku, “Badanmu agak anget, Ta. Sakit? Habis ini langsung istirahat ya.”

Aku berdiri mematung mengingat senyum manisnya saat ia begitu perhatian padaku. Sepertinya aku telah mencintainya. Mungkinkah ia juga mencintaiku? Lamunanku buyar saat teman sekamarku, Nova, memanggilku untuk bareng ke kamar. Aku bergegas uturn dari bus dan menuju kamar unutk mengeringkan diri dan mandi.

--------------------------------------------------------------------------------------------

Hari ketiga sekaligus hari terakhirku bersama teman-teman berlibur di Bali. Sedih rasanya harus meninggalkan tempat yang telah mencetak pengalaman menyenangkan bersama semuanya dan tentunya pengalaman manis bersama Awan. Setelah puas bermain di Tanah Lot, kami bersiap unutk meluncur ke kota Lunpia. Cuaca mendung mengantar kepergian kami dari Bali.

Duduk termenung dalam bus sambil memandang pemandangan dari jendela, aku merasa ada yang aneh. Aku menoleh kesana-kemari mencari sumber keanehan itu. Tidak. Bukan sekitarku yang aneh, tapi akulah yang terasa sangat aneh hari itu. Ada yang aneh padaku. Aku beranjak dari dudukku dan meraih tas ranselku. Kubuka dengan kasar dan mencari sesuatu entah apa itu. Merasa ada yang tidak beres, Awan beridir dan mengambil alih tasku.

“Kamu nyari apa, Ta?”

“Inhaler.”, jawabku singkat dan lirih hingga serangna asma cukup hebat menyerangku, napasku sesak dan tersengan-sengal. Awan mengerti apa yang aku cari mengambil alih pencarian. Ia rogoh-rogoh tasku dan ia tak mengahasilkan apa-apa.

Frustasi ia berteriak, “Ada yang punya inhaler?”, sontak seisi bus kaget mendengar sontak seisi bus kaget mendengartanyaan itu. Ia semakin panik dan panik.

“Nggak ada inhaler, Wan. Adanya oxycan. Gimana?”, kata Belva teman sekelasku merangkap sie kesehatan.

“Yaudah cepetan.”, Awan duduk di sebelahku dan berusaha menenangkanku. Ia lepas jaketnya dan memakaikannya padaku. Tak berapa lama kemudian Belva dating dengan oxycan-nya, Awan mengambil benda itu dan segera memasangkan ke hidung dan mulutku.

“Tenang, Ta. Atur napas pelan-pelan.”, katanya membimbingku bernapas.

Lama sekali hingga akhirnya napasku kembali normal.

“Obatmu mana,Ta? Di tas ranselmu nggak ada.”

“Kayanya di koperku, Wan. Semalem lupa aku pindah.”, jawabku lirih.

“Lain kali jangan gitu ya.”. Ia membelai rambutku dengan luar biasa lembut. Dan akhirnya aku tertidursaat senyum itu kembali mengembang di bibir merahnya.

---------------------------------------------------------------------------------------

Semester baru telah dimulai, kuawali semester ini denmgan langkah yang lebih pasti dan lebih mantap. Langkah yang harus benar-benar aku yakini, termasuk dalam langkah cintaku.

“Gimana, Ta? Udah baikan?”, Tanya Awan saat istirahat makan siang di awal semester.

“Udah baik,Wan. Makasi ya.”

“Sama-sama, tuan putri”, katanya menggoda. “Em… Ta, kamu kenal Octa? Anak IPA 3.”

“Kenal. Kenapa emagnya?”, aku merasa ada yang tidak beres.

“Kamu kan sahabatku, boleh nggak aku minta tolong kenalin aku ke Octa?”

Sontak jantungku seolah berhenti. Jadi selama ini dia hanya menganggapku sahabat? Setealh dengan semua perhatian ekstranya padaku?

“Kenalin? Kenapa? Kamu suka ya ma Octa?”, tantaku sambil menyembunyikan kekcewaanku.

“Hehehehe.. iya, Ta.”, jawabnya malu-malu. Perutku serasa ditonjok habis-habisan saat mendengar pengakuan itu. Sungguh ini membuatku jatuh.

“Kita liat dulu ya, Wan.”, berusaha aku sunggingkan senyum yang berubah menjadi senyum getir di hadapannya.

Sesampainya di rumah, kuhempaskan tubuhku, dan tak kuasa air mata menetes deras di pipiku. Kenap ia tega melakukannya? Kenapa? Ia telah terlalu banyak memberiku harapan untuk mencintainya. Saat cinta itu benar-benar tumbuh dan mengembang, mengapa ia tega melakukan hal itu? Kuseka air mataku dan kutatap gelang pemberian Awan saat di Bali yang baru saja aku ketahui sebagai gelang persahabatan. Kucium gelang. Inilah akhir kisah cintaku lagi. Cinta bertepuk sebelah tanganku yang paling membekas dalam hidupku. Kini aku harus merelakannya pergi kembali. Ya, aku harus merelakannya. Aku tidak dendam, justru aku bersyukur karena Tuhan telah berikan aku kesempatan unutk mencintainya. Mencintai Awan.

TUHAN, TERIMA KASIH ATAS KESEMPATAN YANG KAU BERIKAN UNTUKKU. KESEMPATAN BAGIKU UNUTK MERASAKAN SEBUAH SENTUHAN KASIH YANG DIBERIKAN OLEH IRANG YANG KUSAYANG. TERIMA KASIH TUHAN.

Wan, aku mau Bantu kamu kenalan sama Octa. Tapi ada gantinya, aku mau bakso Pak Umar di depan sekolah. Jangan lupa ya. ^^

Ya, aku harus merelakannya.

0 comments:

Post a Comment