Zee menatap langit sore yang semakin gelap. Semburat matahari kian menipis. Pikirannya melayang ke waktu itu. Tak terasa air mata menetes di pipinya. Sepasang tangan merengkuhnya dari belakang. Ia mendongak dan mendapati Rei, kakaknya. Dengan senyum manis, Rei duduk di samping Zee. “Harusnya kamu tidak di luar. Udara kan dingin.” Saat itu memang mendekati awal musim dingin yang beku. Zee hanya bisa tersenyum mendengar kakaknya.
London berubah menjadi lautan putih, setelah salju pertama turun 2 hari kemudian. Suhu beku menusuk tiap jengkal tubuh. Dari balik selimutnya, Zee mengerang kedinginan. Terlihat dari matanya yang berat, salju telah menutup hampir seperempat bagian tinggi rumahnya. Tebal sekali, pikirnya dalam hati. Dengan sedikit senang dan sedihyang bercampur, ia bangkit. Aneh, padahal ia selalu suka salju, kenapa di musim ini ia bahkan tidak berharap akan adanya salju.
Zee tahu, musim tidak akan berubah seketika. Bagaimanapun juga ia harus melewati musim dingin ini. Itu artinya ia harus menempuh sedikit lagi dari sisa waktunya. Terdengar ketukan di pintu, Rei masuk membawa nampan penuh sarapan. “Kukira kau belum bangun. Ini sarapanmu.” Rei meletakkan nampan di atas meja dan duduk di sofa berlengan di sudut kamar, memperhatikan adiknya. Terlihat padanya, Zee sangat tidak ingin melihat salju. “Sepertinya aku butuh udara tanpa salju”
“Apa? Udara bebas salju? Mana ada di musim begini, Resi.” Zee menggelengkan kepala mendengar kakaknya yang di anggap konyol. “Siapa bilang tempat itu di sini. Maksudku di negara lain, Indonesia mungkin. Sudah lama kita tidak mengunjungi keluarga di sana.” Takjub mendengar hal itu, senyum semangat muncul tipis darinya. “Tapi…” Zee menggantung kalimatnya. “Tapi? Apa?” Dan keheningan muncul menghampiri mereka.
“Kamu kan tahu, aku tidak boleh pergi terlalu jauh mulai sekarang. Kau tahu juga, umurku tak akan panjang lagi. Bagaimana aku pulang dan menjelaskan pada oma dan opa mengenai hal ini?” Rei hanya bisa diam mendengar perkataan adiknya. Ia tahu persis Zee ingin kembali ke Indonesia. Tapi ia tak pernah tega member tahu keluarga besarnya tentang penyakit itu, leukemia stadium akhir.
“Kau butuh hiburan, kau ingin pulang ke Indonesia. Benarkan? Tak ada salahnya, Zee.” Zee hanya bisa melihat tajam mata kakaknya. Di luar kehendaknya, air mata memenuhi pelupuk mata, siap untuk menetes. “Kenapa aku harus dapat penyakit ini, Rei? Kenapa harus aku?” Dengan satu gerakan mulus, Rei merengkuh Zee dalam pelukannya. “Kamu tidak boleh berkata seperti itu. Tidak! Tidak boleh.” Rei tahu perasaan adiknya, bagaimanapun juga, ia kakaknya, sekaligus dokter untuknya. Ia tahu.
Edgar berusaha memasukkan bola terakhir dalam ring. Dia sudah berlatih sendirian selama hampir 5 jam. Lelah? Pasti. Tapi baginya, tak ada yang lebih pantas ia jadikan pelampiasan selain basket. Berhasil memasukkan bola, Edgar merebahkan diri di lantai lapangan basket indoor pribadi miliknya. Sambil menatap langit-langit bergambar awan yang ia desain sendiri, tawa kesenangan muncul dari mulutnya. Ia bahagia, sangat bahagia. Berhasil menyegarkan semua amarah pada dirinya sendiri.
Ponselnya berdering tepat saat Edgar hendak pergi keluar lapangan. Ia lihat siapa yang mengirim pesan, ternyata Rei. Pasti darurat RS, pikirnya enggan. 'KE RS SEKARANG!!' Dan benar saja, ia harus ke RS secepatnya. Maka setengah hati ia pergi, tak pernah Edgar merasa semalas ini. Di RS, Rei terus memantau keadaan Zee. Sesekali ia berharap Zee membuka matanya, tapi tak ada respon sama sekali.
Rei tidak percaya ia membuat adiknya seperti ini. Percakapan itu telah membawa Zee pada kesedihan yang luar biasa, menjadikan tekanan yang amat besar. Zee roboh begitu saja dengan segala kesedihan yang ia rasa.
Edgar setengah berlari menuju UGD, setengah ingin setengah tidak. Terkejut melihat Rei berdiri di samping gadis yang ia kenal. Segera ia mendekat dan melihat dengan jelas pasien lamanya berbaring tak sadarkan diri. Rei memandang Edgar tajam seolah menyalahkannya atas keterlambatan ini.
"Kau terlambat, Edgar! Kau tahu aku menunggumu terlalu lama. Lihat bagimana keadaannya sekarang!" Rei bergumam tajam sementara Edgar sibuk memastikan keadaan Zee. "Aku tahu aku terlambat, Rei. Aku minta maaf." dihelanya napas panjang, "Yang harus kita khawatirkan sekarang ini adalah keadaan Zee. Stadium akhir ini, lebih mengerikan dari yang pernah aku tangani. Aku tak tahu lagi apa yang bisa aku lakukan." Dalam hati, Edgar mengumpat dirinya sendiri yang tidak mampu bertindak.
Zee telah dipindah ke ruang ICU beberapa jam kemudian. Ruang ICU itu tertutup, hanya ada 1 suster berjaga tiap ruangan. Sesekali dokter berkeliling melihat keadaan pasien. Rei, yang sebelumnya tidak boleh menunggu dalam ruangan, tertidur di samping adiknya. Tak terasa hampir 12 jam Zee tak sadarkan diri, dalam keadaan kritis tepatnya. Kadang Rei membuka matany saat merasakan (mungkin) Zee bergerak. Suster yang berjaga di ruang itu tersenyum melihat Rei yang tertidur ayam.
Edgar masuk dalam kamar dan melihat keadaan Zee. Raut pucat itu membuatnya melakukan hal yang semestinya tidak boleh ia lakukan. Bersedih di depan pasiennya. Menetes sedikit di pipinya, serasa bodoh. Ia tak tahu apa yang terjadi padanya. Dengan napas panjang ia coba menenangkan dirinya

0 comments:
Post a Comment