Saturday, January 4, 2014

Menunggu Vonis #Erika



Disappear and Die

Pagi itu matahari masih tampak malu menampakkan sinar lembutnya. Aku sudah terbangun dan melihat jam kecil di sudut kamarku. Masih terlalu pagi untuk bersiap-siap kuliah, batinku. Dengan gontai aku bangun dan menuju kamar mandi untuk mencuci muka.
Pagi itu cukup dingin hingga membuat bulu kuduk meremang saat tanganku terkena air yang mengucur pelan dari keran. Selesai dengan kamar mandi, kembali kupasang selimut untuk menghangatkan badan yang mendingin ini. Kucoba lagi untuk menutup mata dan kembali tidur hingga matahari sedikit meninggi. Namun sayang, pikiran itu kembali mengusik ketenangan batinku. Menyerah, kuputuskan hanya berbaring sambil menatap langit-langit kamar yang pucat karena tak dicat ulang. Kubiarkan pikiran itu kembali memenuhi rongga kosong di kepalaku.
Hari itu kuliah dimulai pukul 9.15, yah, hari pertama kuliah setelah libur panjang semester 2. Sedikit tidak terima mengingat aku hanya bisa berlibur selama 2 minggu dibanding yang lain, menikmati libur 2 bulan mereka. Aku tidak menyesal hanya mendapat jatah 2 minggu, hanya sedikit sebal dan bertanya mengapa liburan selalu lebih cepat berakhir daripada hari kuliah biasa. Entahlah, mungkin karena memang liburan didesain hanya untuk pelumas pikiran sementara sebelum akhirnya kembali dengan rutinitas lama.
Tepat pukul 8.30 aku beranjak keluar dari kamar kostku yang mungil ini. Perutku berdemo minta diisi. Untung hari ini bukan hari libur, sehingga tempat makan terdekat dengan kost sudah buka. Sedikit malas bercampur semangat aku keluar dari kost Ceria yang penuh dengan keceriaan di dalamnya. Kulihat beberapa orang temanku sudah mengambil posisi makan mereka masing-masing. Sapaan demi sapaan terlontar dari mulut kami. Ini lah yang aku sukai dari kuliah, bertemu dengan teman-temanku semuanya, tak peduli betapa berat beban kuliah kami di semester yang semakin tua ini.
Kulangkahkan kakiku dengan pelan menyusuri jalanan perkampungan yang sedikit penuh sesak bersama sahabatku, Puspa. Jalanan ini sudah biasa kami lewati bila akan berangkat ke kampus. Sebenarnya sudah lama aku tidak melewati jalan ini, ini baru pertama kalinya sejak saat itu. Ya, sejak saat itu. Tersenyum aku mengingat potongan puzzle masa lalu. Menyenangkan dan sedikit menyakitkan.
Berjalan 5 menit cukup untuk membawa kami di kawasan fakultas teknik di sebuah universitas di kota Surakarta, tempatku bersekolah saat ini hingga sampai di tahun ke 4. Candaan sesekali terlontar dari mulutku dan Puspa saat mengenang semester 2 yang telah sukses kami lewati. Selalu menyenangkan bersama dengan sahabatku satu ini. Dengan hati-hati tak disinggung tentang hari itu, namun sayang, selalu aku yang memulai membuka percakapan tentang hari itu. Percakapan absurd ini harus terhenti saat kami masuk ke gedung 4, gedung jurusan Teknik Sipil yang menjadi kebanggaan kami semua.
Terlihat beberapa teman angkatan kami sedang duduk di salah satu kelas kosong. Kusapa mereka satu persatu sambil mengulurkan tangan dan menjabatnya. Tak banyak yang berubah dari mereka, kecuali mungkin beberapa tampak lebih gemuk daripada sebelumnya. Maklum, sebagai anak kost, kami menganut paham “Perbaikan gizi” saat berada di rumah. Bagaimana tidak, kami harus bertahan dengan keterbatasan financial bila ingin bertahan lama. Menghitung berapa pengeluaran yang diijinkan setiap harinya. Membatasi apa yang kami beli dan menjaga kesinambungan isi dompet tentunya. Untunglah, kami sudah terbiasa dengan hal-hal itu karena sudah 1 tahun kami menyandagn title sebagai “Anak Kost”.
Jarum jam telah menunjukkan pukul 9.15, kulihat dosen yang akan mengajarkan mata kuliah Mekanika Bahan sudah menuju kelas. Buru-buru aku melangkah bersama temanku yang lainnya. Sedikit tidak beruntung, karena dosen mekban kami termasuk dosen yang rajin, itu artinya di awal perkuliahan begini akan langsung diisi dengan materi. Tapi jangan khawatir, beliau termasuk dosen yang baik dan pintar dalam mengajar. Aku menyukai dosen yang satu itu, sungguh.
Sekitar 2 jam kami berkutat dengan materi, akhirnya kuliah diakhiri. Seharusnya baru selesai setelah 2,5 jam. Tapi sepertinya pak Darwanto sudah mengerti bagaimana ekspresi lelah kami melihat materi yang super banyak itu sehingga segera saja kelas dibubarkan. Keluar dari kelas kulihat Puspa dan Indi, sahabatku yang lain, sedang duduk menunggu di luar. Sepertinya mereka belum ada kuliah, pikirku. Benar saja.
“Lhoh, kalian gak ada kuliah to?” tanyaku sambil mendekati mereka.
“Belum ada donk, haha, nganggur tau nungguin kalian keluar,” jawab Indi
“Nyeeh, senengnya belum megang materi apa-apa, iri deh gue.”
Beginilah nasib anak teknik, semua serba tidak terduga. Kadang kami bisa tiba-tiba mendapat panggilan kuliah pengganti atau sekedar tugas tambahan. Yah, keduanya memberikan efek yang sedikit menyebalkan.
Kulihat sekelilingku, tempat ini, persis dimana aku sedang duduk sekarang, seperti menyeretku kembali ke masa itu. Tersenyum dengan mata berkaca-kaca aku beranjak pergi.
“Rik, mau kemana? Pulang? Aku ikut!”, Ifa memanggilku, “Aku ikut ke kostmu donk, males di sini aku. Boleh ya?”
Kuanggukkan kepalaku dengan pelan dan tetap tersenyum menyembunyikan luka, “Ayok ke kostku, Aya ikut gak?”, aku berpaling ke temanku yang satunya lagi.
“Ikut, aku ikut, Erik,” masih saja dia memanggilku begitu, Erik, diambil dati 4 huruf pertama di namaku, lucu.
Bersama, aku, Puspa, Ifa, dan Aya, berjalan menuju kostku. Mungkin untuk awal semester seperti ini, waktu istirahat sambil menunggu kuliah selanjutnya akan diisi dengan pulang ke kost alih-alih tinggal di kampus. Mumpung belum mulai ada tugas, istirahat dulu sepertinya menyenangkan.
“Tik, pinjem HP,” kuulurkan ponselku pada Aya yang ingin meminjamnya sesampainya di kost.
“Meh ngapain, Ya? HPku gak ada apa-apane.”
“Gak papa, meh ndelok-ndelok wae.”
Kulihat Aya mulai membuka dan mengotak-atik galeriku. Sepertinya dia melihat foto yang ada di dalamnya. Wajahnya mulai berubah, antara prihatin dan bingung harus berkata apa.
“Gak usah bingung gitu, Ya. Aku Cuma nyimpen itu buat obat kangen aja kok,” kataku sambil berusaha tetap tersenyum dan tegar. Kubuat nada bicaraku seolah tak terjadi apa-apa.
“Sabar ya, Rik. Semua bakal jadi lebih indah lagi,” kata Ifa sambil mengulurkan tangannya merengkuhku dalam peluknya.
Tak kuasa air mata mengalir di pipiku. Membentuk aliran seperti aliran sungai yang dangkal. Membutakan mataku sementara karena penuh oleh tetesan cairan mata itu. Tak mampu lagi aku membendung air mata yang selalu saja berusaha untuk menerobos keluar. Sedih, kalut, sakit, rindu, entah bagaimana mengatakannya.
“Sabar, Rik. Jangan nangis lagi. Udah, ayo ikhlas ya.”
Di sini, di kamar ini, aku menumpahkan segala emosi tak bertuanku bersama dengan mereka, teman baikku. Kubiarkan air mata mengalir dengan leluasa. Tak akan kuhalangi. Akan kubiarkan hingga mampu membasuh perih di luka dalam itu. Tangan-tangan sahabatku memeluk dengan semakin erat, membisikkan kata yang sedikit banyak dapat kudengar.
“Aku kangen dia, Fa. Aku kangen. Aku sayang sama dia, tapi kenapa malah jadi gini. Kenapa dia harus pergi gitu aja tanpa aku tau apa sebabnya. Kenapa, Fa? Kenapa?” tangisku semakin menjadi tatkala kuingat dia pernah memelukku seperti ini juga. Saat aku mengatakan padanya aku telah melepas cita-citaku menjadi seorang dokter. Dia juga memelukku dengan sangat erat, membisikkan kata-kata menenangkanku, menyemangatiku.
Tangan-tangan itu semakin erat memelukku. Mengetatkan luka yang telah menganga, berharap dapat tertutup walau sedikit dengan sebuah pelukan yang tulus, pelukan yang hangat. Siluet itu kembali muncul di kepalaku. Aku masih ingat betul bagaimana cara dia memelukku, bagaimana cara dia berbicara padaku, bagaimana dia mengecup lembut bibirku.
“Sabar, Rik. Tuhan pasti punya yang lebih baik dari dia. Pasti itu. Percaya semua bakal jadi lebih indah. Semua bakal jadi lebih menyenangkan. Udah ya, jangan sedih lagi,” kini Puspa ganti memelukku,”kamu masih inget yang pernah kamu bilang ke aku waktu aku jauh dari mantanku kan? Kamu bilang aku harus tetep semangat, semua akan jadi lebih indah. Semua akan jadi lebih menyenangkan. Hadapi dengan senyuman dan kesabaran penuh. Kamu juga harus melakukannya, Rik. Kamu pasti bisa.”
Kalut. Itu yang aku rasa saat ini. Sudah sebulan lebih sejak aku resmi berpisah dengannya. Kekasih pertamaku. Cinta pertamaku. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan untuk menghapus segala kenangan yang membuatku ingin terjun bebas dari sebuah tebing yang curam. Ingin rasanya aku pergi dan menghapus segala kenangan yang telah terpatri kuat di hatiku. Menggoreskan segenap rasa sakit yang bercampur cinta. Aku tidak membenci dia yang pergi dariku. Aku hanya merindukan dia. Itu saja.
Berhasil menguasai diri, aku melepaskan diri dari pelukan sahabat-sahabatku. Kulihat wajah mereka satu persatu. Mereka seperti merasakan apa yang aku rasakan.
“Makasih teman-teman udah nemenin aku nangis kayak gini. Maaf ya kalian harus liat betapa jeleknya aku kalo nangis. Haha,” masih saja kuusahakan nada biasa dan bercandaku kepada mereka. Tak ingin buat mereka khawatir.
Hari telah berganti sejak insiden menangis bersama itu. Aku sudah mulai sedikit demi sedikit membiarkan aliran air membawaku pergi. Melihat dia berjalan di koridor tanpa ada senyum sedikit pun untukku. Aku hanya bisa menghela napas saat dia berjalan melewatiku tanpa memandang sedikitpun. Aku tidak marah. Aku hanya rindu. Itu saja.
Minggu telah berganti, aku semakin terbiasa dengan perubahan itu. Mungkin sesekali aku menangis. Bukan karena sedih, tapi karena rindu. Aku masih belum bisa menguasai rasa rinduku. Biar nanti saja waktu yang mengajariku bagaimana menguasainya.
“Rik, kamu mimisan?” kata Puspa sambil mengulurkan tissue kepadaku.
“Kamu kenapa, Rik?” kutangkap nada khawatir dari Indi.
“Enggak kenapa-kenapa kok, biasa lah, paling Cuma kecapekan aja. Tenang teman-teman,” jawabku santai.
Waktu itu kami sedang duduk bersama di pelataran gedung sambil memanfaatkan sarana wi-fi yang ada. Sepertinya memang cairan merah itu sedang mengalir dengan derasnya. Yah, maklum saja untuk anak teknik yang banyak kerjaan dan pikiran terkadang harus menguras fisik. Apalagi bila ditambah dengan masalah lain yang sangat menguras pikiran juga seperti yang sedang aku jalani ini. Kuseka hidungku yang telah berhenti mengeluarkan darah. Banyak juga ternyata, pikirku.
“Jangan maksain badan lagi, Rik. Kamu tu gampang sakit orangnya. Jangan capek-capek dulu ya,” ucap Indi sambil membantuku membersihkan sisa darah di sekitar hidungku.
“Tenang, In. Aku tahu kok sampai mana batasanku. Masih gini sih gak masalah.”
“Tuh, kalo dibilangin selalu ngeyel. Dasar head strong!” sergah Puspa sambil meninju pelan bahuku.
“Hahaha, gak apa lah. Toh sekarang udah gak punya yang ngawasin lagi. Gak ada yang marahin kalo begadang. Gak ada yang marahin kalo sakit,” mereka hanya bisa menggelengkan kepala mendengar pernyataanku tadi.
Mereka lah yang selalu menemaniku saat aku butuh seseorang untuk berbagi. Mereka lah yang selalu berusaha ada untukku. Aku pun harus selalu berusaha ada untuk mereka. Aku tidak mengeluh, justru mereka yang membantuku keluar dari sumur kesedihan.
Malam telah menampakkan hamparan bintang dan  bulan yang bersatu dalam kegelapan malam yang indah. Kupandang mereka dari balkon kostku. Teringat dulu aku selalu ingin melihat bintang bersamanya. Aku hanya tersenyum mengingat semua itu, tak ada lagi air mata mengalir dengan derasnya. Mungkin masih mengalir, hanya saja tidak seperti sebelumnya yang benar-benar tak tertahankan.
Duduk dalam diam, sendirian, aku mencoba berkonsentrasi dengan tugas-tugasku. Malam sudah hampir berganti pagi, tapi masih saja aku berkutat dengan pekerjaan di hadapanku. Sesuatu mengganguku dan kusadari itu adalah cairan merah yang kembali menetes dari dalam hidungku. Sepertinya udah capek bener, batinku, tidur dulu lah. Segera kubereskan pekerjaanku sambil menahan cairan itu agar tak semakin deras mengalir.
Pagi kembali menampakkan dirinya. Kembali kulangkahkan kakiku menuju kampus dengan menyanding tabung gambar berisi peta sebagai tugasku. Kali ini aku berangkat seorang diri karena Puspa libur di kuliah pertama. Alhasil aku berjalan dalam diam dan memikirkan banyak hal seorang diri.
Melewati parkiran kendaraan bermotor, aku melihatnya berjalan menuju ke dalam gedung. Tak ada niatan dariku untuk menyapanya terlebih dahulu karena semua terlalu sulit dan menyakitkan. Aku berjalan dengan lebih cepat menuju ke kelas guna menghindari berpapasan dengannya. Terlihat lucu saat kau berada di satu gedung dengan orang yang pernah mencintaimu tetapi kau berusaha menghindarinya bagaimana pun caranya. Mungkin orang mengira kami saling membenci. Entahlah, yang jelas tak ada rasa benci sedikit pun dalam diriku akan dia, tapi tak tahu bagaimana dengan dia.
“Ah, Erik. Ngalamun aja kamu,” tiba-tiba saja Aya sudah berada di sebelahku saat aku sedang membiarkan pikiranku melayang.
“Haha gak apa-apa, Ay. Biasalah mikirin tugas yang udah mulai numpuk,” dustaku.
“Beneran mikirin tugas nih? Bukan mikirin dia?” dia melayangkan pandangan ke sudut gedung, dan laki-laki itu sedang berada di sana, bersama teman-temannya.
“Ih, Aya ih. Sok teong banget. Lagi mikirin tugas IUT nih, petaku ada yang salah.”
“Iya iya yang lagi mikirin IUT bukan mikirin dia. Udah yuk ah, temenin ke kantin. Pengen beli minum nih,” tanpa basa-basi aku ditarik menjauh, tentu saja ini untuk menghindariku dari memikirkan dia yang tidak memikirkanku.
“Emang Ifa kemana, Ay?”
“Ifa lagi ngurus IUT juga sama kelompoknya. Tadi udah ketemu aku.”
“Oh, aku kira Ifa gak masuk.”
Kantin penuh sesak saat itu. Kami putuskan untuk mengambil tempat di bagian samping dekat gedung teknik mesin. Setelah memesan minum, segera kami tempati kursi kosong itu sebelum diisi oleh orang lain. Kantin, menjadi salah satu tempat favorit untuk berkumpul bersama teman-teman. Dan di kantin juga menyimpan kenangan manis yang hanya aku dan dia miliki.
“Eh, Rik. Aku mau Tanya sesuatu, boleh? Tapi jangan marah, jangan sedih dan jangan nangis. Oke?” Aya mulai membuka percakapan yang aku tau kemana arahnya akan berjalan.
“Iya, Ay. Emang kamu mau tanya apa? Kayanya serius banget,” aku berpura-pura tidak tahu menahu apa yang akan dia bicarakan.
“Kamu masih sering mikirin dia kah? Apa dia belum jadian sama cewek yang pernah kamu ceritain waktu itu?” jelas sekali Aya berusaha dengan sebaik-baiknya untuk menyembunyikan nada kebingungan dalam pertanyaannya. Aku tahu kenapa. Dia ingin menjaga perasaanku.
“Yah, aku bohong kalo aku bilang gak pernah lagi mikirin dia. Aku selalu mikirin dia dan gak pernah sekali pun aku gak mikirin dia. Tapi sudah lah, aku terlalu capek  buat mikir yang begituan selama aku masih punya pikiran mengenai apa yang harus kerjakan sekarang. Tugas banyak, Ay. IUT, Mekban, prokom, semua udah menyita pikiranku. Dan soal cewek yang pernah aku ceritain, aku gak ngerti gimana hubungan mereka, dan aku sedang mencoba untuk gak mengerti bagaimana pun alasannya,” kututup dengan senyum menandakan aku ingin berganti topic.
Percakapan di kantin itu berlanjut ke hal lain, aku senang karena Aya tidak berusaha lagi menanyakan tentang apa dan bagaimana perasaanku sekarang. Aku sudah pernah mengatakan isi pikiranku sebelumnya, belum ada perubahan. Meskipun sekarang aku sudah tidak terlalu sering memikirkan dia, hanya terkadang ingat dan merindukannya. Tapi aku bisa apa? Dia tidak berusaha untuk mencariku, bahkan dia tidak berusaha untuk menyapaku. Untuk apa aku terus menerus memikirkan dia yang tidak memikirkanku. Kujejalkan pikiran itu secara berkala di kepalaku.
Akhir pekan ini aku pulang ke kota kelahiranku, Semarang. Aku selalu mencintai kota ini bagaimana pun keadaanya. Seolah hanya Semarang yang bisa mengerti apa yang sedang aku pikirkan dan apa yang sedang aku butuhkan. Betul lah kalau orang bilang gak ada yang lebih nyaman dari rumah. Benar sekali.
Hari Sabtu, aku selalu suka hari Sabtu. Apalagi bila diisi dengan berkumpul dengan keluargaku tersayang. Harus selalu ada acara berkumpul dengan keluarga di akhir pekan. Selalu menyenangkan.
Aku masih berbaring di tempat tidurku saat waktu menunjukkan pukul 7 malam. Kudengar ibu memanggil namaku dari ruang makan untuk segera turun karena makan malam sudah siap. Kepalaku terasa berat dan mataku berkunang-kunang. Sepertinya aku terlalu lelah karena tugas menumpuk di tiap harinya. Lemas aku beranjak dan turun ke ruang makan. Kulihat bapak dan ibu serta kakakku sudah menempati kursi yang ditata rapi. Belum mencapai tangga paling bawah aku merasa sedang ditarik ke bawah dengan kuat dan dihempaskan begitu saja.
Terakhir yang kuingat aku terbaring di kasur yang sangat empuk. Bau obat menyengat hidungku. Kucoba untuk membuka mata namun gagal. Aku masih lemah. Dengan mata tertutup kubiarkan inderaku yang lain bekerja dengan baik. Ada seseorang yang memegang lembut tanganku. Aku bisa menebaknya itu adalah kakakku. Ada bunyi alat yang sering aku dengar bila menonton film dimana pemeran utamanya tergolek tak berdaya di rumah sakit yang menunjukkan aktivitas dari jantungnya.
Sayup-sayup kudengar ibuku sedang berbicara dengan seseorang, sesekali kudengar juga isak tangisnya yang amat pelan.
“Maaf, ibu bapak. Kami sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Ternyata semua sudah terlambat. Leukemia stadium akhir. Saya tidak mengerti mengapa Erika tidak merasakan apa-apa hingga akhirnya menjadi begitu parahnya. Maaf. Tapi kami tidak bisa memperkirakan berapa lama lagi Erika akan bertahan.”
Sunyi. Bagai di tampar dengan keras, aku merasa jantungku hampir berhenti. Entah aku tidak bisa menangis. Aku hanya diam dan tetap menutup mataku saat kurasakan tangan kakakku menggenggam tanganku dengan erat dan sepertinya bulir air mata menetes membasahi tanganku. Tuhan, akan kah aku mati begitu cepat? Mengapa aku harus mati secepat ini? Mengapa? Mengapa aku harus meninggalkan mereka yang aku sayangi secepat ini? Mengapa Kau beri aku sakit ini?
Sepertinya matahari sudah sangat tinggi saat kubuka mataku. Semalaman aku tidak membuka mataku. Lemas, aku masih merasa lemas. Kini semuanya akan segera berakhir. Rasa sakit ini akan berakhir dengan sangat cepat. Kulihat sekelilingku, sepertinya sudah dipindah ke ruang perawatan biasa. Kakakku tidur di sofa yang ada di dekat pintu. Tak tega aku membangunkannya. Haus, itu yang aku rasa pertama kali aku buka mataku. Dengan mengerahkan segenap tenaga yang tersisa, aku mencoba duduk. Namun gagal. Aku masih belum kuat.
“Dek, kamu mau apa? Mau minum?” kakakku, Daniel, telah bangun dan menghampiriku.
“Haus, mas. Mau minum,” ada yang aneh dengan suaraku, seperti tercekat.
“Bentar ya, mas ambilin.”
Diraihnya gelas yang berada di samping tempat tidur dan didekatkan padaku. Lega tenggorokan ini kembali basah. Sedikit menyegarkanku. Tersenyum kutatap kakakku dengan penuh rasa sayang. Terlintas di kepalaku aku akan segera pergi meninggalkannya, tak akan ada lagi yang memainkan rambutku sesuka hati, tak ada lagi yang berebur remote TV dengannya. Mas Daniel meraih tanganku dan diciumnya. Kuseka air mata yang menetes di wajah tampan tegasnya. Ini lah wajah kakakku tersayang, yang selalu mengkhawatirkanku dimana pun aku berada. Aku ingin menatapnya selama mungkin sebelum aku pergi selamanya.
“Mas, jadi aku bakal segera mati kan ya? Gimana rasanya ya? Apa kayak tidur apa gimana?” kubuat nada bicaraku biasa saja saat mengucapkannya.
“Jangan bilang gitu, dek. Gak ada yang tau kapan ajal seseorang itu datang. Kamu gak boleh bilang gitu,” semakin deras air mata menetes di wajahnya, ini pertama kalinya aku lihat dia menangis, pilu.
“Mas kan calon dokter, pasti tau kalo umurku udah gak bisa lama lagi.”
“Jangan bilang gitu, dek. Jangan pernah kamu bilang gitu,” tanpa banyak kata direngkuhnya diriku dalam peluknya. Terisak pelan sambil terus mengatakan jangan pergi dengan cepat. Tak kuasa kutahan air mataku, aku ikut menangis, bersamanya.
Satu minggu penuh aku berada di rumah sakit. Bosan. Aku ingin kembali kuliah. Pasti tugas-tugasku menumpuk banyak di sana. Aku tak tega meninggalkan kelompok tugasku, karena itu berarti bagianku harus mereka kerjakan. Surat ijin tidak kuliah sudah dilayangkan langsung ke bagian pengajaran. Tak tanggung-tanggung, semua mata kuliah mendapat suratnya masing-masing. Aku harus kembali kuliah. Aku ingin menghabiskan sisa waktuku dengan hidup normal seperti apa adanya tanpa seorang pun tahu mengenai penyakitku.
Sudah kukatakan mengenai keinginanku untuk kembali kuliah kepada orang tua dan kakakku. Kukatakan juga pada mereka aku ingin menjalani sisa hidupku seperti biasanya. Menjadi remaja normal yang biasa saja. Menepiskan pemikiran bahwa aku sedang sakit.
“Tapi, dek, badan kamu semakin lemah, apa kamu pikir bapak sama ibu sama mas Daniel tega ninggalin kamu sendirian di sana?” tak bisa disembunyikan lagi nada penolakan dalam apa yang aku dengar dari ibuku semalam.
“Aku kuat, bu. Aku gak mau ninggalin semua gitu aja. Aku masih punya tanggung jawab sama kuliah sama temen-temen juga. Aku gak bisa pergi gitu aja. Lagipula aku pengen nikmatin sisa waktuku sama temen-temen juga.”
“Yaudahlah, bu. Kalo adek pengennya gitu, jangan dikekang. Biar dia menentukan sendiri apa yang menjadi inginnya. Adek kan udah dewasa, sudah saatnya dia diberi tanggung jawab sama badannya sendiri,” aku senang karena kakakku mendukungku.
“Yowis. Nek kamu memang maunya gitu ibu juga gak bisa maksa. Tapi kamu harus inget, jaga kondisi kamu selama di kos. Makan harus teratur, jangan lupa obatnya, jangan kecapekan juga. Ngerti?” dan akhirnya aku mendapatkan ACC untuk ideku yang satu ini.
Keluar dari rumah sakit pada hari Minggu, dan kembali ke aktivitas semula di pagi harinya. Menyenangkan sekali bisa kembali bertemu dengan teman-teman semua, dan tentu menyenangkan sekali bisa bertemu walau hanya melihat dia yang kucintai. Sudah kuduga semua ekspresi khawatir akan kudapat dari wajah sahabat-sahabatku begitu aku muncul di kuliah pertama hari Senin itu.
“Astaga, Rika! Kamu dari mana aja sih? Betah amat kamu di Semarang? Gak kangen apa sama aku?” serbu Puspa saat pertama melihatku.
“Maaf ya, sayang. Aku harus menyelesaikan sesuatu di rumah, jadi deh libur seminggu,” ucapku.
“Payah ah, kita kangen tau sama kamu. Seenaknya aja libur seminggu gak bilang-bilang.”
“Iya deh, maaf,” kupeluk sahabatku itu dengan erat tanpa peduli dimana aku dan dia berada.
Semester 3 hampir berakhir, beban tugas sudah mulai meringan. Hanya tinggal 1 tugas saja yang belum selesai. Dan harus segera selesai sebelum libur semester dimulai. Aku semakin jarang melihatnya, mungkin lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas, aku tahu itu, karena memang dia begitu.
Aku berjalan menyusuri koridor selepas kuliah sore. Seorang diri dan berpapasan dengannya. Nampak ekspresi yang tak bisa aku tafsirkan sebagai apa. Dia hanya memandangku sekilas lalu mempercepat langkahnya. Aku tidak mengeluh. Aku sudah cukup senang dia mau melihatku walau tak ada senyum bahkan sapa keluar darinya. Paling tidak, dia masih mau memandangku. Itu saja.
Malam telah beranjak keluar dari peraduannya, siap menggantikan siang yang telah bertugas dengan sepenuh hatinya. Udara dingin begitu menusukku. Aku hanya bisa menggeliat di balik selimut tebal untuk mengusir hawa dingin itu. Setengah berharap ada yang mau memeluk dan menghangatkan badanku.
Muncul entah dari mana sebuah ide. Bukan ide yang cukup menyenangkan sepertinya. Kuraih ponselku yang tergeletak tak jauh dari ranjang. Kuketikkan kata demi kata yang terlintas di kepalaku. Sambil menghela napas panjang kukirim pesan itu, kepadanya. Tersenyum, aku jatuh dalam buai kegelapan menyesakkan jiwa. Aku bagai kapas ringan yang terombang-ambing oleh angin.
Kegelapan semakin menguasaiku hari demi hari. Sesak yang begitu parah mencoba membunuhku secara perlahan. Aku mencoba bertahan dengan sesak ini. Aku ingin melihatnya sekali lagi. Walau untuk yang terakhir kali. Sungguh, aku sangat ingin melihatnya kembali, walau raga ini tak dapat menyentuhnya, paling tidak mata ini masih dapat melihat senyumnya. Namun seakan kegelapan tak mau melepaskanku, dia terus memaksaku untuk tinggal di kegelapan itu. Aku ingin cahaya. Aku ingin dia. Semakin jauh dan jauh kegelapan membawaku. Pergi dan tak akan kembali. Aku telah selesai menunggu vonisku, dan inilah vonisku. Menghilang dan mati. Disappear and die.

Menunggu Vonis #Erika



Disappear and Die

Pagi itu matahari masih tampak malu menampakkan sinar lembutnya. Aku sudah terbangun dan melihat jam kecil di sudut kamarku. Masih terlalu pagi untuk bersiap-siap kuliah, batinku. Dengan gontai aku bangun dan menuju kamar mandi untuk mencuci muka.
Pagi itu cukup dingin hingga membuat bulu kuduk meremang saat tanganku terkena air yang mengucur pelan dari keran. Selesai dengan kamar mandi, kembali kupasang selimut untuk menghangatkan badan yang mendingin ini. Kucoba lagi untuk menutup mata dan kembali tidur hingga matahari sedikit meninggi. Namun sayang, pikiran itu kembali mengusik ketenangan batinku. Menyerah, kuputuskan hanya berbaring sambil menatap langit-langit kamar yang pucat karena tak dicat ulang. Kubiarkan pikiran itu kembali memenuhi rongga kosong di kepalaku.
Hari itu kuliah dimulai pukul 9.15, yah, hari pertama kuliah setelah libur panjang semester 2. Sedikit tidak terima mengingat aku hanya bisa berlibur selama 2 minggu dibanding yang lain, menikmati libur 2 bulan mereka. Aku tidak menyesal hanya mendapat jatah 2 minggu, hanya sedikit sebal dan bertanya mengapa liburan selalu lebih cepat berakhir daripada hari kuliah biasa. Entahlah, mungkin karena memang liburan didesain hanya untuk pelumas pikiran sementara sebelum akhirnya kembali dengan rutinitas lama.
Tepat pukul 8.30 aku beranjak keluar dari kamar kostku yang mungil ini. Perutku berdemo minta diisi. Untung hari ini bukan hari libur, sehingga tempat makan terdekat dengan kost sudah buka. Sedikit malas bercampur semangat aku keluar dari kost Ceria yang penuh dengan keceriaan di dalamnya. Kulihat beberapa orang temanku sudah mengambil posisi makan mereka masing-masing. Sapaan demi sapaan terlontar dari mulut kami. Ini lah yang aku sukai dari kuliah, bertemu dengan teman-temanku semuanya, tak peduli betapa berat beban kuliah kami di semester yang semakin tua ini.
Kulangkahkan kakiku dengan pelan menyusuri jalanan perkampungan yang sedikit penuh sesak bersama sahabatku, Puspa. Jalanan ini sudah biasa kami lewati bila akan berangkat ke kampus. Sebenarnya sudah lama aku tidak melewati jalan ini, ini baru pertama kalinya sejak saat itu. Ya, sejak saat itu. Tersenyum aku mengingat potongan puzzle masa lalu. Menyenangkan dan sedikit menyakitkan.
Berjalan 5 menit cukup untuk membawa kami di kawasan fakultas teknik di sebuah universitas di kota Surakarta, tempatku bersekolah saat ini hingga sampai di tahun ke 4. Candaan sesekali terlontar dari mulutku dan Puspa saat mengenang semester 2 yang telah sukses kami lewati. Selalu menyenangkan bersama dengan sahabatku satu ini. Dengan hati-hati tak disinggung tentang hari itu, namun sayang, selalu aku yang memulai membuka percakapan tentang hari itu. Percakapan absurd ini harus terhenti saat kami masuk ke gedung 4, gedung jurusan Teknik Sipil yang menjadi kebanggaan kami semua.
Terlihat beberapa teman angkatan kami sedang duduk di salah satu kelas kosong. Kusapa mereka satu persatu sambil mengulurkan tangan dan menjabatnya. Tak banyak yang berubah dari mereka, kecuali mungkin beberapa tampak lebih gemuk daripada sebelumnya. Maklum, sebagai anak kost, kami menganut paham “Perbaikan gizi” saat berada di rumah. Bagaimana tidak, kami harus bertahan dengan keterbatasan financial bila ingin bertahan lama. Menghitung berapa pengeluaran yang diijinkan setiap harinya. Membatasi apa yang kami beli dan menjaga kesinambungan isi dompet tentunya. Untunglah, kami sudah terbiasa dengan hal-hal itu karena sudah 1 tahun kami menyandagn title sebagai “Anak Kost”.
Jarum jam telah menunjukkan pukul 9.15, kulihat dosen yang akan mengajarkan mata kuliah Mekanika Bahan sudah menuju kelas. Buru-buru aku melangkah bersama temanku yang lainnya. Sedikit tidak beruntung, karena dosen mekban kami termasuk dosen yang rajin, itu artinya di awal perkuliahan begini akan langsung diisi dengan materi. Tapi jangan khawatir, beliau termasuk dosen yang baik dan pintar dalam mengajar. Aku menyukai dosen yang satu itu, sungguh.
Sekitar 2 jam kami berkutat dengan materi, akhirnya kuliah diakhiri. Seharusnya baru selesai setelah 2,5 jam. Tapi sepertinya pak Darwanto sudah mengerti bagaimana ekspresi lelah kami melihat materi yang super banyak itu sehingga segera saja kelas dibubarkan. Keluar dari kelas kulihat Puspa dan Indi, sahabatku yang lain, sedang duduk menunggu di luar. Sepertinya mereka belum ada kuliah, pikirku. Benar saja.
“Lhoh, kalian gak ada kuliah to?” tanyaku sambil mendekati mereka.
“Belum ada donk, haha, nganggur tau nungguin kalian keluar,” jawab Indi
“Nyeeh, senengnya belum megang materi apa-apa, iri deh gue.”
Beginilah nasib anak teknik, semua serba tidak terduga. Kadang kami bisa tiba-tiba mendapat panggilan kuliah pengganti atau sekedar tugas tambahan. Yah, keduanya memberikan efek yang sedikit menyebalkan.
Kulihat sekelilingku, tempat ini, persis dimana aku sedang duduk sekarang, seperti menyeretku kembali ke masa itu. Tersenyum dengan mata berkaca-kaca aku beranjak pergi.
“Rik, mau kemana? Pulang? Aku ikut!”, Ifa memanggilku, “Aku ikut ke kostmu donk, males di sini aku. Boleh ya?”
Kuanggukkan kepalaku dengan pelan dan tetap tersenyum menyembunyikan luka, “Ayok ke kostku, Aya ikut gak?”, aku berpaling ke temanku yang satunya lagi.
“Ikut, aku ikut, Erik,” masih saja dia memanggilku begitu, Erik, diambil dati 4 huruf pertama di namaku, lucu.
Bersama, aku, Puspa, Ifa, dan Aya, berjalan menuju kostku. Mungkin untuk awal semester seperti ini, waktu istirahat sambil menunggu kuliah selanjutnya akan diisi dengan pulang ke kost alih-alih tinggal di kampus. Mumpung belum mulai ada tugas, istirahat dulu sepertinya menyenangkan.
“Tik, pinjem HP,” kuulurkan ponselku pada Aya yang ingin meminjamnya sesampainya di kost.
“Meh ngapain, Ya? HPku gak ada apa-apane.”
“Gak papa, meh ndelok-ndelok wae.”
Kulihat Aya mulai membuka dan mengotak-atik galeriku. Sepertinya dia melihat foto yang ada di dalamnya. Wajahnya mulai berubah, antara prihatin dan bingung harus berkata apa.
“Gak usah bingung gitu, Ya. Aku Cuma nyimpen itu buat obat kangen aja kok,” kataku sambil berusaha tetap tersenyum dan tegar. Kubuat nada bicaraku seolah tak terjadi apa-apa.
“Sabar ya, Rik. Semua bakal jadi lebih indah lagi,” kata Ifa sambil mengulurkan tangannya merengkuhku dalam peluknya.
Tak kuasa air mata mengalir di pipiku. Membentuk aliran seperti aliran sungai yang dangkal. Membutakan mataku sementara karena penuh oleh tetesan cairan mata itu. Tak mampu lagi aku membendung air mata yang selalu saja berusaha untuk menerobos keluar. Sedih, kalut, sakit, rindu, entah bagaimana mengatakannya.
“Sabar, Rik. Jangan nangis lagi. Udah, ayo ikhlas ya.”
Di sini, di kamar ini, aku menumpahkan segala emosi tak bertuanku bersama dengan mereka, teman baikku. Kubiarkan air mata mengalir dengan leluasa. Tak akan kuhalangi. Akan kubiarkan hingga mampu membasuh perih di luka dalam itu. Tangan-tangan sahabatku memeluk dengan semakin erat, membisikkan kata yang sedikit banyak dapat kudengar.
“Aku kangen dia, Fa. Aku kangen. Aku sayang sama dia, tapi kenapa malah jadi gini. Kenapa dia harus pergi gitu aja tanpa aku tau apa sebabnya. Kenapa, Fa? Kenapa?” tangisku semakin menjadi tatkala kuingat dia pernah memelukku seperti ini juga. Saat aku mengatakan padanya aku telah melepas cita-citaku menjadi seorang dokter. Dia juga memelukku dengan sangat erat, membisikkan kata-kata menenangkanku, menyemangatiku.
Tangan-tangan itu semakin erat memelukku. Mengetatkan luka yang telah menganga, berharap dapat tertutup walau sedikit dengan sebuah pelukan yang tulus, pelukan yang hangat. Siluet itu kembali muncul di kepalaku. Aku masih ingat betul bagaimana cara dia memelukku, bagaimana cara dia berbicara padaku, bagaimana dia mengecup lembut bibirku.
“Sabar, Rik. Tuhan pasti punya yang lebih baik dari dia. Pasti itu. Percaya semua bakal jadi lebih indah. Semua bakal jadi lebih menyenangkan. Udah ya, jangan sedih lagi,” kini Puspa ganti memelukku,”kamu masih inget yang pernah kamu bilang ke aku waktu aku jauh dari mantanku kan? Kamu bilang aku harus tetep semangat, semua akan jadi lebih indah. Semua akan jadi lebih menyenangkan. Hadapi dengan senyuman dan kesabaran penuh. Kamu juga harus melakukannya, Rik. Kamu pasti bisa.”
Kalut. Itu yang aku rasa saat ini. Sudah sebulan lebih sejak aku resmi berpisah dengannya. Kekasih pertamaku. Cinta pertamaku. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan untuk menghapus segala kenangan yang membuatku ingin terjun bebas dari sebuah tebing yang curam. Ingin rasanya aku pergi dan menghapus segala kenangan yang telah terpatri kuat di hatiku. Menggoreskan segenap rasa sakit yang bercampur cinta. Aku tidak membenci dia yang pergi dariku. Aku hanya merindukan dia. Itu saja.
Berhasil menguasai diri, aku melepaskan diri dari pelukan sahabat-sahabatku. Kulihat wajah mereka satu persatu. Mereka seperti merasakan apa yang aku rasakan.
“Makasih teman-teman udah nemenin aku nangis kayak gini. Maaf ya kalian harus liat betapa jeleknya aku kalo nangis. Haha,” masih saja kuusahakan nada biasa dan bercandaku kepada mereka. Tak ingin buat mereka khawatir.
Hari telah berganti sejak insiden menangis bersama itu. Aku sudah mulai sedikit demi sedikit membiarkan aliran air membawaku pergi. Melihat dia berjalan di koridor tanpa ada senyum sedikit pun untukku. Aku hanya bisa menghela napas saat dia berjalan melewatiku tanpa memandang sedikitpun. Aku tidak marah. Aku hanya rindu. Itu saja.
Minggu telah berganti, aku semakin terbiasa dengan perubahan itu. Mungkin sesekali aku menangis. Bukan karena sedih, tapi karena rindu. Aku masih belum bisa menguasai rasa rinduku. Biar nanti saja waktu yang mengajariku bagaimana menguasainya.
“Rik, kamu mimisan?” kata Puspa sambil mengulurkan tissue kepadaku.
“Kamu kenapa, Rik?” kutangkap nada khawatir dari Indi.
“Enggak kenapa-kenapa kok, biasa lah, paling Cuma kecapekan aja. Tenang teman-teman,” jawabku santai.
Waktu itu kami sedang duduk bersama di pelataran gedung sambil memanfaatkan sarana wi-fi yang ada. Sepertinya memang cairan merah itu sedang mengalir dengan derasnya. Yah, maklum saja untuk anak teknik yang banyak kerjaan dan pikiran terkadang harus menguras fisik. Apalagi bila ditambah dengan masalah lain yang sangat menguras pikiran juga seperti yang sedang aku jalani ini. Kuseka hidungku yang telah berhenti mengeluarkan darah. Banyak juga ternyata, pikirku.
“Jangan maksain badan lagi, Rik. Kamu tu gampang sakit orangnya. Jangan capek-capek dulu ya,” ucap Indi sambil membantuku membersihkan sisa darah di sekitar hidungku.
“Tenang, In. Aku tahu kok sampai mana batasanku. Masih gini sih gak masalah.”
“Tuh, kalo dibilangin selalu ngeyel. Dasar head strong!” sergah Puspa sambil meninju pelan bahuku.
“Hahaha, gak apa lah. Toh sekarang udah gak punya yang ngawasin lagi. Gak ada yang marahin kalo begadang. Gak ada yang marahin kalo sakit,” mereka hanya bisa menggelengkan kepala mendengar pernyataanku tadi.
Mereka lah yang selalu menemaniku saat aku butuh seseorang untuk berbagi. Mereka lah yang selalu berusaha ada untukku. Aku pun harus selalu berusaha ada untuk mereka. Aku tidak mengeluh, justru mereka yang membantuku keluar dari sumur kesedihan.
Malam telah menampakkan hamparan bintang dan  bulan yang bersatu dalam kegelapan malam yang indah. Kupandang mereka dari balkon kostku. Teringat dulu aku selalu ingin melihat bintang bersamanya. Aku hanya tersenyum mengingat semua itu, tak ada lagi air mata mengalir dengan derasnya. Mungkin masih mengalir, hanya saja tidak seperti sebelumnya yang benar-benar tak tertahankan.
Duduk dalam diam, sendirian, aku mencoba berkonsentrasi dengan tugas-tugasku. Malam sudah hampir berganti pagi, tapi masih saja aku berkutat dengan pekerjaan di hadapanku. Sesuatu mengganguku dan kusadari itu adalah cairan merah yang kembali menetes dari dalam hidungku. Sepertinya udah capek bener, batinku, tidur dulu lah. Segera kubereskan pekerjaanku sambil menahan cairan itu agar tak semakin deras mengalir.
Pagi kembali menampakkan dirinya. Kembali kulangkahkan kakiku menuju kampus dengan menyanding tabung gambar berisi peta sebagai tugasku. Kali ini aku berangkat seorang diri karena Puspa libur di kuliah pertama. Alhasil aku berjalan dalam diam dan memikirkan banyak hal seorang diri.
Melewati parkiran kendaraan bermotor, aku melihatnya berjalan menuju ke dalam gedung. Tak ada niatan dariku untuk menyapanya terlebih dahulu karena semua terlalu sulit dan menyakitkan. Aku berjalan dengan lebih cepat menuju ke kelas guna menghindari berpapasan dengannya. Terlihat lucu saat kau berada di satu gedung dengan orang yang pernah mencintaimu tetapi kau berusaha menghindarinya bagaimana pun caranya. Mungkin orang mengira kami saling membenci. Entahlah, yang jelas tak ada rasa benci sedikit pun dalam diriku akan dia, tapi tak tahu bagaimana dengan dia.
“Ah, Erik. Ngalamun aja kamu,” tiba-tiba saja Aya sudah berada di sebelahku saat aku sedang membiarkan pikiranku melayang.
“Haha gak apa-apa, Ay. Biasalah mikirin tugas yang udah mulai numpuk,” dustaku.
“Beneran mikirin tugas nih? Bukan mikirin dia?” dia melayangkan pandangan ke sudut gedung, dan laki-laki itu sedang berada di sana, bersama teman-temannya.
“Ih, Aya ih. Sok teong banget. Lagi mikirin tugas IUT nih, petaku ada yang salah.”
“Iya iya yang lagi mikirin IUT bukan mikirin dia. Udah yuk ah, temenin ke kantin. Pengen beli minum nih,” tanpa basa-basi aku ditarik menjauh, tentu saja ini untuk menghindariku dari memikirkan dia yang tidak memikirkanku.
“Emang Ifa kemana, Ay?”
“Ifa lagi ngurus IUT juga sama kelompoknya. Tadi udah ketemu aku.”
“Oh, aku kira Ifa gak masuk.”
Kantin penuh sesak saat itu. Kami putuskan untuk mengambil tempat di bagian samping dekat gedung teknik mesin. Setelah memesan minum, segera kami tempati kursi kosong itu sebelum diisi oleh orang lain. Kantin, menjadi salah satu tempat favorit untuk berkumpul bersama teman-teman. Dan di kantin juga menyimpan kenangan manis yang hanya aku dan dia miliki.
“Eh, Rik. Aku mau Tanya sesuatu, boleh? Tapi jangan marah, jangan sedih dan jangan nangis. Oke?” Aya mulai membuka percakapan yang aku tau kemana arahnya akan berjalan.
“Iya, Ay. Emang kamu mau tanya apa? Kayanya serius banget,” aku berpura-pura tidak tahu menahu apa yang akan dia bicarakan.
“Kamu masih sering mikirin dia kah? Apa dia belum jadian sama cewek yang pernah kamu ceritain waktu itu?” jelas sekali Aya berusaha dengan sebaik-baiknya untuk menyembunyikan nada kebingungan dalam pertanyaannya. Aku tahu kenapa. Dia ingin menjaga perasaanku.
“Yah, aku bohong kalo aku bilang gak pernah lagi mikirin dia. Aku selalu mikirin dia dan gak pernah sekali pun aku gak mikirin dia. Tapi sudah lah, aku terlalu capek  buat mikir yang begituan selama aku masih punya pikiran mengenai apa yang harus kerjakan sekarang. Tugas banyak, Ay. IUT, Mekban, prokom, semua udah menyita pikiranku. Dan soal cewek yang pernah aku ceritain, aku gak ngerti gimana hubungan mereka, dan aku sedang mencoba untuk gak mengerti bagaimana pun alasannya,” kututup dengan senyum menandakan aku ingin berganti topic.
Percakapan di kantin itu berlanjut ke hal lain, aku senang karena Aya tidak berusaha lagi menanyakan tentang apa dan bagaimana perasaanku sekarang. Aku sudah pernah mengatakan isi pikiranku sebelumnya, belum ada perubahan. Meskipun sekarang aku sudah tidak terlalu sering memikirkan dia, hanya terkadang ingat dan merindukannya. Tapi aku bisa apa? Dia tidak berusaha untuk mencariku, bahkan dia tidak berusaha untuk menyapaku. Untuk apa aku terus menerus memikirkan dia yang tidak memikirkanku. Kujejalkan pikiran itu secara berkala di kepalaku.
Akhir pekan ini aku pulang ke kota kelahiranku, Semarang. Aku selalu mencintai kota ini bagaimana pun keadaanya. Seolah hanya Semarang yang bisa mengerti apa yang sedang aku pikirkan dan apa yang sedang aku butuhkan. Betul lah kalau orang bilang gak ada yang lebih nyaman dari rumah. Benar sekali.
Hari Sabtu, aku selalu suka hari Sabtu. Apalagi bila diisi dengan berkumpul dengan keluargaku tersayang. Harus selalu ada acara berkumpul dengan keluarga di akhir pekan. Selalu menyenangkan.
Aku masih berbaring di tempat tidurku saat waktu menunjukkan pukul 7 malam. Kudengar ibu memanggil namaku dari ruang makan untuk segera turun karena makan malam sudah siap. Kepalaku terasa berat dan mataku berkunang-kunang. Sepertinya aku terlalu lelah karena tugas menumpuk di tiap harinya. Lemas aku beranjak dan turun ke ruang makan. Kulihat bapak dan ibu serta kakakku sudah menempati kursi yang ditata rapi. Belum mencapai tangga paling bawah aku merasa sedang ditarik ke bawah dengan kuat dan dihempaskan begitu saja.
Terakhir yang kuingat aku terbaring di kasur yang sangat empuk. Bau obat menyengat hidungku. Kucoba untuk membuka mata namun gagal. Aku masih lemah. Dengan mata tertutup kubiarkan inderaku yang lain bekerja dengan baik. Ada seseorang yang memegang lembut tanganku. Aku bisa menebaknya itu adalah kakakku. Ada bunyi alat yang sering aku dengar bila menonton film dimana pemeran utamanya tergolek tak berdaya di rumah sakit yang menunjukkan aktivitas dari jantungnya.
Sayup-sayup kudengar ibuku sedang berbicara dengan seseorang, sesekali kudengar juga isak tangisnya yang amat pelan.
“Maaf, ibu bapak. Kami sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Ternyata semua sudah terlambat. Leukemia stadium akhir. Saya tidak mengerti mengapa Erika tidak merasakan apa-apa hingga akhirnya menjadi begitu parahnya. Maaf. Tapi kami tidak bisa memperkirakan berapa lama lagi Erika akan bertahan.”
Sunyi. Bagai di tampar dengan keras, aku merasa jantungku hampir berhenti. Entah aku tidak bisa menangis. Aku hanya diam dan tetap menutup mataku saat kurasakan tangan kakakku menggenggam tanganku dengan erat dan sepertinya bulir air mata menetes membasahi tanganku. Tuhan, akan kah aku mati begitu cepat? Mengapa aku harus mati secepat ini? Mengapa? Mengapa aku harus meninggalkan mereka yang aku sayangi secepat ini? Mengapa Kau beri aku sakit ini?
Sepertinya matahari sudah sangat tinggi saat kubuka mataku. Semalaman aku tidak membuka mataku. Lemas, aku masih merasa lemas. Kini semuanya akan segera berakhir. Rasa sakit ini akan berakhir dengan sangat cepat. Kulihat sekelilingku, sepertinya sudah dipindah ke ruang perawatan biasa. Kakakku tidur di sofa yang ada di dekat pintu. Tak tega aku membangunkannya. Haus, itu yang aku rasa pertama kali aku buka mataku. Dengan mengerahkan segenap tenaga yang tersisa, aku mencoba duduk. Namun gagal. Aku masih belum kuat.
“Dek, kamu mau apa? Mau minum?” kakakku, Daniel, telah bangun dan menghampiriku.
“Haus, mas. Mau minum,” ada yang aneh dengan suaraku, seperti tercekat.
“Bentar ya, mas ambilin.”
Diraihnya gelas yang berada di samping tempat tidur dan didekatkan padaku. Lega tenggorokan ini kembali basah. Sedikit menyegarkanku. Tersenyum kutatap kakakku dengan penuh rasa sayang. Terlintas di kepalaku aku akan segera pergi meninggalkannya, tak akan ada lagi yang memainkan rambutku sesuka hati, tak ada lagi yang berebur remote TV dengannya. Mas Daniel meraih tanganku dan diciumnya. Kuseka air mata yang menetes di wajah tampan tegasnya. Ini lah wajah kakakku tersayang, yang selalu mengkhawatirkanku dimana pun aku berada. Aku ingin menatapnya selama mungkin sebelum aku pergi selamanya.
“Mas, jadi aku bakal segera mati kan ya? Gimana rasanya ya? Apa kayak tidur apa gimana?” kubuat nada bicaraku biasa saja saat mengucapkannya.
“Jangan bilang gitu, dek. Gak ada yang tau kapan ajal seseorang itu datang. Kamu gak boleh bilang gitu,” semakin deras air mata menetes di wajahnya, ini pertama kalinya aku lihat dia menangis, pilu.
“Mas kan calon dokter, pasti tau kalo umurku udah gak bisa lama lagi.”
“Jangan bilang gitu, dek. Jangan pernah kamu bilang gitu,” tanpa banyak kata direngkuhnya diriku dalam peluknya. Terisak pelan sambil terus mengatakan jangan pergi dengan cepat. Tak kuasa kutahan air mataku, aku ikut menangis, bersamanya.
Satu minggu penuh aku berada di rumah sakit. Bosan. Aku ingin kembali kuliah. Pasti tugas-tugasku menumpuk banyak di sana. Aku tak tega meninggalkan kelompok tugasku, karena itu berarti bagianku harus mereka kerjakan. Surat ijin tidak kuliah sudah dilayangkan langsung ke bagian pengajaran. Tak tanggung-tanggung, semua mata kuliah mendapat suratnya masing-masing. Aku harus kembali kuliah. Aku ingin menghabiskan sisa waktuku dengan hidup normal seperti apa adanya tanpa seorang pun tahu mengenai penyakitku.
Sudah kukatakan mengenai keinginanku untuk kembali kuliah kepada orang tua dan kakakku. Kukatakan juga pada mereka aku ingin menjalani sisa hidupku seperti biasanya. Menjadi remaja normal yang biasa saja. Menepiskan pemikiran bahwa aku sedang sakit.
“Tapi, dek, badan kamu semakin lemah, apa kamu pikir bapak sama ibu sama mas Daniel tega ninggalin kamu sendirian di sana?” tak bisa disembunyikan lagi nada penolakan dalam apa yang aku dengar dari ibuku semalam.
“Aku kuat, bu. Aku gak mau ninggalin semua gitu aja. Aku masih punya tanggung jawab sama kuliah sama temen-temen juga. Aku gak bisa pergi gitu aja. Lagipula aku pengen nikmatin sisa waktuku sama temen-temen juga.”
“Yaudahlah, bu. Kalo adek pengennya gitu, jangan dikekang. Biar dia menentukan sendiri apa yang menjadi inginnya. Adek kan udah dewasa, sudah saatnya dia diberi tanggung jawab sama badannya sendiri,” aku senang karena kakakku mendukungku.
“Yowis. Nek kamu memang maunya gitu ibu juga gak bisa maksa. Tapi kamu harus inget, jaga kondisi kamu selama di kos. Makan harus teratur, jangan lupa obatnya, jangan kecapekan juga. Ngerti?” dan akhirnya aku mendapatkan ACC untuk ideku yang satu ini.
Keluar dari rumah sakit pada hari Minggu, dan kembali ke aktivitas semula di pagi harinya. Menyenangkan sekali bisa kembali bertemu dengan teman-teman semua, dan tentu menyenangkan sekali bisa bertemu walau hanya melihat dia yang kucintai. Sudah kuduga semua ekspresi khawatir akan kudapat dari wajah sahabat-sahabatku begitu aku muncul di kuliah pertama hari Senin itu.
“Astaga, Rika! Kamu dari mana aja sih? Betah amat kamu di Semarang? Gak kangen apa sama aku?” serbu Puspa saat pertama melihatku.
“Maaf ya, sayang. Aku harus menyelesaikan sesuatu di rumah, jadi deh libur seminggu,” ucapku.
“Payah ah, kita kangen tau sama kamu. Seenaknya aja libur seminggu gak bilang-bilang.”
“Iya deh, maaf,” kupeluk sahabatku itu dengan erat tanpa peduli dimana aku dan dia berada.
Semester 3 hampir berakhir, beban tugas sudah mulai meringan. Hanya tinggal 1 tugas saja yang belum selesai. Dan harus segera selesai sebelum libur semester dimulai. Aku semakin jarang melihatnya, mungkin lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas, aku tahu itu, karena memang dia begitu.
Aku berjalan menyusuri koridor selepas kuliah sore. Seorang diri dan berpapasan dengannya. Nampak ekspresi yang tak bisa aku tafsirkan sebagai apa. Dia hanya memandangku sekilas lalu mempercepat langkahnya. Aku tidak mengeluh. Aku sudah cukup senang dia mau melihatku walau tak ada senyum bahkan sapa keluar darinya. Paling tidak, dia masih mau memandangku. Itu saja.
Malam telah beranjak keluar dari peraduannya, siap menggantikan siang yang telah bertugas dengan sepenuh hatinya. Udara dingin begitu menusukku. Aku hanya bisa menggeliat di balik selimut tebal untuk mengusir hawa dingin itu. Setengah berharap ada yang mau memeluk dan menghangatkan badanku.
Muncul entah dari mana sebuah ide. Bukan ide yang cukup menyenangkan sepertinya. Kuraih ponselku yang tergeletak tak jauh dari ranjang. Kuketikkan kata demi kata yang terlintas di kepalaku. Sambil menghela napas panjang kukirim pesan itu, kepadanya. Tersenyum, aku jatuh dalam buai kegelapan menyesakkan jiwa. Aku bagai kapas ringan yang terombang-ambing oleh angin.
Kegelapan semakin menguasaiku hari demi hari. Sesak yang begitu parah mencoba membunuhku secara perlahan. Aku mencoba bertahan dengan sesak ini. Aku ingin melihatnya sekali lagi. Walau untuk yang terakhir kali. Sungguh, aku sangat ingin melihatnya kembali, walau raga ini tak dapat menyentuhnya, paling tidak mata ini masih dapat melihat senyumnya. Namun seakan kegelapan tak mau melepaskanku, dia terus memaksaku untuk tinggal di kegelapan itu. Aku ingin cahaya. Aku ingin dia. Semakin jauh dan jauh kegelapan membawaku. Pergi dan tak akan kembali. Aku telah selesai menunggu vonisku, dan inilah vonisku. Menghilang dan mati. Disappear and die.