Disappear and Die
Pagi itu
matahari masih tampak malu menampakkan sinar lembutnya. Aku sudah terbangun dan
melihat jam kecil di sudut kamarku. Masih terlalu pagi untuk bersiap-siap
kuliah, batinku. Dengan gontai aku bangun dan menuju kamar mandi untuk mencuci
muka.
Pagi itu cukup
dingin hingga membuat bulu kuduk meremang saat tanganku terkena air yang
mengucur pelan dari keran. Selesai dengan kamar mandi, kembali kupasang selimut
untuk menghangatkan badan yang mendingin ini. Kucoba lagi untuk menutup mata
dan kembali tidur hingga matahari sedikit meninggi. Namun sayang, pikiran itu
kembali mengusik ketenangan batinku. Menyerah, kuputuskan hanya berbaring
sambil menatap langit-langit kamar yang pucat karena tak dicat ulang. Kubiarkan
pikiran itu kembali memenuhi rongga kosong di kepalaku.
Hari itu kuliah
dimulai pukul 9.15, yah, hari pertama kuliah setelah libur panjang semester 2.
Sedikit tidak terima mengingat aku hanya bisa berlibur selama 2 minggu dibanding
yang lain, menikmati libur 2 bulan mereka. Aku tidak menyesal hanya mendapat
jatah 2 minggu, hanya sedikit sebal dan bertanya mengapa liburan selalu lebih
cepat berakhir daripada hari kuliah biasa. Entahlah, mungkin karena memang
liburan didesain hanya untuk pelumas pikiran sementara sebelum akhirnya kembali
dengan rutinitas lama.
Tepat pukul 8.30
aku beranjak keluar dari kamar kostku yang mungil ini. Perutku berdemo minta
diisi. Untung hari ini bukan hari libur, sehingga tempat makan terdekat dengan
kost sudah buka. Sedikit malas bercampur semangat aku keluar dari kost Ceria
yang penuh dengan keceriaan di dalamnya. Kulihat beberapa orang temanku sudah
mengambil posisi makan mereka masing-masing. Sapaan demi sapaan terlontar dari
mulut kami. Ini lah yang aku sukai dari kuliah, bertemu dengan teman-temanku
semuanya, tak peduli betapa berat beban kuliah kami di semester yang semakin
tua ini.
Kulangkahkan
kakiku dengan pelan menyusuri jalanan perkampungan yang sedikit penuh sesak
bersama sahabatku, Puspa. Jalanan ini sudah biasa kami lewati bila akan
berangkat ke kampus. Sebenarnya sudah lama aku tidak melewati jalan ini, ini
baru pertama kalinya sejak saat itu. Ya, sejak saat itu. Tersenyum aku
mengingat potongan puzzle masa lalu. Menyenangkan dan sedikit menyakitkan.
Berjalan 5 menit
cukup untuk membawa kami di kawasan fakultas teknik di sebuah universitas di
kota Surakarta, tempatku bersekolah saat ini hingga sampai di tahun ke 4.
Candaan sesekali terlontar dari mulutku dan Puspa saat mengenang semester 2
yang telah sukses kami lewati. Selalu menyenangkan bersama dengan sahabatku
satu ini. Dengan hati-hati tak disinggung tentang hari itu, namun sayang,
selalu aku yang memulai membuka percakapan tentang hari itu. Percakapan absurd
ini harus terhenti saat kami masuk ke gedung 4, gedung jurusan Teknik Sipil
yang menjadi kebanggaan kami semua.
Terlihat
beberapa teman angkatan kami sedang duduk di salah satu kelas kosong. Kusapa
mereka satu persatu sambil mengulurkan tangan dan menjabatnya. Tak banyak yang
berubah dari mereka, kecuali mungkin beberapa tampak lebih gemuk daripada
sebelumnya. Maklum, sebagai anak kost, kami menganut paham “Perbaikan gizi”
saat berada di rumah. Bagaimana tidak, kami harus bertahan dengan keterbatasan
financial bila ingin bertahan lama. Menghitung berapa pengeluaran yang
diijinkan setiap harinya. Membatasi apa yang kami beli dan menjaga
kesinambungan isi dompet tentunya. Untunglah, kami sudah terbiasa dengan
hal-hal itu karena sudah 1 tahun kami menyandagn title sebagai “Anak Kost”.
Jarum jam telah
menunjukkan pukul 9.15, kulihat dosen yang akan mengajarkan mata kuliah
Mekanika Bahan sudah menuju kelas. Buru-buru aku melangkah bersama temanku yang
lainnya. Sedikit tidak beruntung, karena dosen mekban kami termasuk dosen yang
rajin, itu artinya di awal perkuliahan begini akan langsung diisi dengan
materi. Tapi jangan khawatir, beliau termasuk dosen yang baik dan pintar dalam
mengajar. Aku menyukai dosen yang satu itu, sungguh.
Sekitar 2 jam
kami berkutat dengan materi, akhirnya kuliah diakhiri. Seharusnya baru selesai
setelah 2,5 jam. Tapi sepertinya pak Darwanto sudah mengerti bagaimana ekspresi
lelah kami melihat materi yang super banyak itu sehingga segera saja kelas
dibubarkan. Keluar dari kelas kulihat Puspa dan Indi, sahabatku yang lain,
sedang duduk menunggu di luar. Sepertinya mereka belum ada kuliah, pikirku.
Benar saja.
“Lhoh, kalian
gak ada kuliah to?” tanyaku sambil mendekati mereka.
“Belum ada donk,
haha, nganggur tau nungguin kalian keluar,” jawab Indi
“Nyeeh,
senengnya belum megang materi apa-apa, iri deh gue.”
Beginilah nasib
anak teknik, semua serba tidak terduga. Kadang kami bisa tiba-tiba mendapat
panggilan kuliah pengganti atau sekedar tugas tambahan. Yah, keduanya
memberikan efek yang sedikit menyebalkan.
Kulihat
sekelilingku, tempat ini, persis dimana aku sedang duduk sekarang, seperti
menyeretku kembali ke masa itu. Tersenyum dengan mata berkaca-kaca aku beranjak
pergi.
“Rik, mau
kemana? Pulang? Aku ikut!”, Ifa memanggilku, “Aku ikut ke kostmu donk, males di
sini aku. Boleh ya?”
Kuanggukkan
kepalaku dengan pelan dan tetap tersenyum menyembunyikan luka, “Ayok ke kostku,
Aya ikut gak?”, aku berpaling ke temanku yang satunya lagi.
“Ikut, aku ikut,
Erik,” masih saja dia memanggilku begitu, Erik, diambil dati 4 huruf pertama di
namaku, lucu.
Bersama, aku,
Puspa, Ifa, dan Aya, berjalan menuju kostku. Mungkin untuk awal semester
seperti ini, waktu istirahat sambil menunggu kuliah selanjutnya akan diisi
dengan pulang ke kost alih-alih tinggal di kampus. Mumpung belum mulai ada
tugas, istirahat dulu sepertinya menyenangkan.
“Tik, pinjem
HP,” kuulurkan ponselku pada Aya yang ingin meminjamnya sesampainya di kost.
“Meh ngapain, Ya?
HPku gak ada apa-apane.”
“Gak papa, meh
ndelok-ndelok wae.”
Kulihat Aya
mulai membuka dan mengotak-atik galeriku. Sepertinya dia melihat foto yang ada
di dalamnya. Wajahnya mulai berubah, antara prihatin dan bingung harus berkata
apa.
“Gak usah
bingung gitu, Ya. Aku Cuma nyimpen itu buat obat kangen aja kok,” kataku sambil
berusaha tetap tersenyum dan tegar. Kubuat nada bicaraku seolah tak terjadi
apa-apa.
“Sabar ya, Rik.
Semua bakal jadi lebih indah lagi,” kata Ifa sambil mengulurkan tangannya
merengkuhku dalam peluknya.
Tak kuasa air
mata mengalir di pipiku. Membentuk aliran seperti aliran sungai yang dangkal. Membutakan
mataku sementara karena penuh oleh tetesan cairan mata itu. Tak mampu lagi aku
membendung air mata yang selalu saja berusaha untuk menerobos keluar. Sedih,
kalut, sakit, rindu, entah bagaimana mengatakannya.
“Sabar, Rik.
Jangan nangis lagi. Udah, ayo ikhlas ya.”
Di sini, di
kamar ini, aku menumpahkan segala emosi tak bertuanku bersama dengan mereka,
teman baikku. Kubiarkan air mata mengalir dengan leluasa. Tak akan kuhalangi.
Akan kubiarkan hingga mampu membasuh perih di luka dalam itu. Tangan-tangan
sahabatku memeluk dengan semakin erat, membisikkan kata yang sedikit banyak
dapat kudengar.
“Aku kangen dia,
Fa. Aku kangen. Aku sayang sama dia, tapi kenapa malah jadi gini. Kenapa dia
harus pergi gitu aja tanpa aku tau apa sebabnya. Kenapa, Fa? Kenapa?” tangisku
semakin menjadi tatkala kuingat dia pernah memelukku seperti ini juga. Saat aku
mengatakan padanya aku telah melepas cita-citaku menjadi seorang dokter. Dia
juga memelukku dengan sangat erat, membisikkan kata-kata menenangkanku,
menyemangatiku.
Tangan-tangan
itu semakin erat memelukku. Mengetatkan luka yang telah menganga, berharap
dapat tertutup walau sedikit dengan sebuah pelukan yang tulus, pelukan yang
hangat. Siluet itu kembali muncul di kepalaku. Aku masih ingat betul bagaimana
cara dia memelukku, bagaimana cara dia berbicara padaku, bagaimana dia mengecup
lembut bibirku.
“Sabar, Rik.
Tuhan pasti punya yang lebih baik dari dia. Pasti itu. Percaya semua bakal jadi
lebih indah. Semua bakal jadi lebih menyenangkan. Udah ya, jangan sedih lagi,”
kini Puspa ganti memelukku,”kamu masih inget yang pernah kamu bilang ke aku
waktu aku jauh dari mantanku kan? Kamu bilang aku harus tetep semangat, semua
akan jadi lebih indah. Semua akan jadi lebih menyenangkan. Hadapi dengan
senyuman dan kesabaran penuh. Kamu juga harus melakukannya, Rik. Kamu pasti
bisa.”
Kalut. Itu yang
aku rasa saat ini. Sudah sebulan lebih sejak aku resmi berpisah dengannya.
Kekasih pertamaku. Cinta pertamaku. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan
untuk menghapus segala kenangan yang membuatku ingin terjun bebas dari sebuah
tebing yang curam. Ingin rasanya aku pergi dan menghapus segala kenangan yang
telah terpatri kuat di hatiku. Menggoreskan segenap rasa sakit yang bercampur
cinta. Aku tidak membenci dia yang pergi dariku. Aku hanya merindukan dia. Itu
saja.
Berhasil
menguasai diri, aku melepaskan diri dari pelukan sahabat-sahabatku. Kulihat
wajah mereka satu persatu. Mereka seperti merasakan apa yang aku rasakan.
“Makasih
teman-teman udah nemenin aku nangis kayak gini. Maaf ya kalian harus liat
betapa jeleknya aku kalo nangis. Haha,” masih saja kuusahakan nada biasa dan
bercandaku kepada mereka. Tak ingin buat mereka khawatir.
Hari telah
berganti sejak insiden menangis bersama itu. Aku sudah mulai sedikit demi
sedikit membiarkan aliran air membawaku pergi. Melihat dia berjalan di koridor
tanpa ada senyum sedikit pun untukku. Aku hanya bisa menghela napas saat dia
berjalan melewatiku tanpa memandang sedikitpun. Aku tidak marah. Aku hanya
rindu. Itu saja.
Minggu telah
berganti, aku semakin terbiasa dengan perubahan itu. Mungkin sesekali aku
menangis. Bukan karena sedih, tapi karena rindu. Aku masih belum bisa menguasai
rasa rinduku. Biar nanti saja waktu yang mengajariku bagaimana menguasainya.
“Rik, kamu
mimisan?” kata Puspa sambil mengulurkan tissue kepadaku.
“Kamu kenapa, Rik?”
kutangkap nada khawatir dari Indi.
“Enggak
kenapa-kenapa kok, biasa lah, paling Cuma kecapekan aja. Tenang teman-teman,”
jawabku santai.
Waktu itu kami
sedang duduk bersama di pelataran gedung sambil memanfaatkan sarana wi-fi yang
ada. Sepertinya memang cairan merah itu sedang mengalir dengan derasnya. Yah,
maklum saja untuk anak teknik yang banyak kerjaan dan pikiran terkadang harus
menguras fisik. Apalagi bila ditambah dengan masalah lain yang sangat menguras
pikiran juga seperti yang sedang aku jalani ini. Kuseka hidungku yang telah
berhenti mengeluarkan darah. Banyak juga ternyata, pikirku.
“Jangan maksain
badan lagi, Rik. Kamu tu gampang sakit orangnya. Jangan capek-capek dulu ya,”
ucap Indi sambil membantuku membersihkan sisa darah di sekitar hidungku.
“Tenang, In. Aku
tahu kok sampai mana batasanku. Masih gini sih gak masalah.”
“Tuh, kalo
dibilangin selalu ngeyel. Dasar head strong!” sergah Puspa sambil meninju pelan
bahuku.
“Hahaha, gak apa
lah. Toh sekarang udah gak punya yang ngawasin lagi. Gak ada yang marahin kalo
begadang. Gak ada yang marahin kalo sakit,” mereka hanya bisa menggelengkan
kepala mendengar pernyataanku tadi.
Mereka lah yang
selalu menemaniku saat aku butuh seseorang untuk berbagi. Mereka lah yang
selalu berusaha ada untukku. Aku pun harus selalu berusaha ada untuk mereka.
Aku tidak mengeluh, justru mereka yang membantuku keluar dari sumur kesedihan.
Malam telah
menampakkan hamparan bintang dan bulan
yang bersatu dalam kegelapan malam yang indah. Kupandang mereka dari balkon
kostku. Teringat dulu aku selalu ingin melihat bintang bersamanya. Aku hanya
tersenyum mengingat semua itu, tak ada lagi air mata mengalir dengan derasnya.
Mungkin masih mengalir, hanya saja tidak seperti sebelumnya yang benar-benar
tak tertahankan.
Duduk dalam
diam, sendirian, aku mencoba berkonsentrasi dengan tugas-tugasku. Malam sudah
hampir berganti pagi, tapi masih saja aku berkutat dengan pekerjaan di
hadapanku. Sesuatu mengganguku dan kusadari itu adalah cairan merah yang
kembali menetes dari dalam hidungku. Sepertinya udah capek bener, batinku,
tidur dulu lah. Segera kubereskan pekerjaanku sambil menahan cairan itu agar
tak semakin deras mengalir.
Pagi kembali
menampakkan dirinya. Kembali kulangkahkan kakiku menuju kampus dengan
menyanding tabung gambar berisi peta sebagai tugasku. Kali ini aku berangkat
seorang diri karena Puspa libur di kuliah pertama. Alhasil aku berjalan dalam
diam dan memikirkan banyak hal seorang diri.
Melewati
parkiran kendaraan bermotor, aku melihatnya berjalan menuju ke dalam gedung.
Tak ada niatan dariku untuk menyapanya terlebih dahulu karena semua terlalu
sulit dan menyakitkan. Aku berjalan dengan lebih cepat menuju ke kelas guna
menghindari berpapasan dengannya. Terlihat lucu saat kau berada di satu gedung
dengan orang yang pernah mencintaimu tetapi kau berusaha menghindarinya
bagaimana pun caranya. Mungkin orang mengira kami saling membenci. Entahlah,
yang jelas tak ada rasa benci sedikit pun dalam diriku akan dia, tapi tak tahu
bagaimana dengan dia.
“Ah, Erik.
Ngalamun aja kamu,” tiba-tiba saja Aya sudah berada di sebelahku saat aku
sedang membiarkan pikiranku melayang.
“Haha gak
apa-apa, Ay. Biasalah mikirin tugas yang udah mulai numpuk,” dustaku.
“Beneran mikirin
tugas nih? Bukan mikirin dia?” dia melayangkan pandangan ke sudut gedung, dan
laki-laki itu sedang berada di sana, bersama teman-temannya.
“Ih, Aya ih. Sok
teong banget. Lagi mikirin tugas IUT nih, petaku ada yang salah.”
“Iya iya yang
lagi mikirin IUT bukan mikirin dia. Udah yuk ah, temenin ke kantin. Pengen beli
minum nih,” tanpa basa-basi aku ditarik menjauh, tentu saja ini untuk
menghindariku dari memikirkan dia yang tidak memikirkanku.
“Emang Ifa
kemana, Ay?”
“Ifa lagi ngurus
IUT juga sama kelompoknya. Tadi udah ketemu aku.”
“Oh, aku kira
Ifa gak masuk.”
Kantin penuh
sesak saat itu. Kami putuskan untuk mengambil tempat di bagian samping dekat
gedung teknik mesin. Setelah memesan minum, segera kami tempati kursi kosong
itu sebelum diisi oleh orang lain. Kantin, menjadi salah satu tempat favorit
untuk berkumpul bersama teman-teman. Dan di kantin juga menyimpan kenangan
manis yang hanya aku dan dia miliki.
“Eh, Rik. Aku
mau Tanya sesuatu, boleh? Tapi jangan marah, jangan sedih dan jangan nangis.
Oke?” Aya mulai membuka percakapan yang aku tau kemana arahnya akan berjalan.
“Iya, Ay. Emang
kamu mau tanya apa? Kayanya serius banget,” aku berpura-pura tidak tahu menahu
apa yang akan dia bicarakan.
“Kamu masih
sering mikirin dia kah? Apa dia belum jadian sama cewek yang pernah kamu
ceritain waktu itu?” jelas sekali Aya berusaha dengan sebaik-baiknya untuk
menyembunyikan nada kebingungan dalam pertanyaannya. Aku tahu kenapa. Dia ingin
menjaga perasaanku.
“Yah, aku bohong
kalo aku bilang gak pernah lagi mikirin dia. Aku selalu mikirin dia dan gak
pernah sekali pun aku gak mikirin dia. Tapi sudah lah, aku terlalu capek buat mikir yang begituan selama aku masih
punya pikiran mengenai apa yang harus kerjakan sekarang. Tugas banyak, Ay. IUT,
Mekban, prokom, semua udah menyita pikiranku. Dan soal cewek yang pernah aku
ceritain, aku gak ngerti gimana hubungan mereka, dan aku sedang mencoba untuk
gak mengerti bagaimana pun alasannya,” kututup dengan senyum menandakan aku
ingin berganti topic.
Percakapan di
kantin itu berlanjut ke hal lain, aku senang karena Aya tidak berusaha lagi
menanyakan tentang apa dan bagaimana perasaanku sekarang. Aku sudah pernah
mengatakan isi pikiranku sebelumnya, belum ada perubahan. Meskipun sekarang aku
sudah tidak terlalu sering memikirkan dia, hanya terkadang ingat dan
merindukannya. Tapi aku bisa apa? Dia tidak berusaha untuk mencariku, bahkan
dia tidak berusaha untuk menyapaku. Untuk apa aku terus menerus memikirkan dia
yang tidak memikirkanku. Kujejalkan pikiran itu secara berkala di kepalaku.
Akhir pekan ini
aku pulang ke kota kelahiranku, Semarang. Aku selalu mencintai kota ini
bagaimana pun keadaanya. Seolah hanya Semarang yang bisa mengerti apa yang
sedang aku pikirkan dan apa yang sedang aku butuhkan. Betul lah kalau orang
bilang gak ada yang lebih nyaman dari rumah. Benar sekali.
Hari Sabtu, aku
selalu suka hari Sabtu. Apalagi bila diisi dengan berkumpul dengan keluargaku
tersayang. Harus selalu ada acara berkumpul dengan keluarga di akhir pekan.
Selalu menyenangkan.
Aku masih
berbaring di tempat tidurku saat waktu menunjukkan pukul 7 malam. Kudengar ibu
memanggil namaku dari ruang makan untuk segera turun karena makan malam sudah
siap. Kepalaku terasa berat dan mataku berkunang-kunang. Sepertinya aku terlalu
lelah karena tugas menumpuk di tiap harinya. Lemas aku beranjak dan turun ke
ruang makan. Kulihat bapak dan ibu serta kakakku sudah menempati kursi yang
ditata rapi. Belum mencapai tangga paling bawah aku merasa sedang ditarik ke
bawah dengan kuat dan dihempaskan begitu saja.
Terakhir yang
kuingat aku terbaring di kasur yang sangat empuk. Bau obat menyengat hidungku.
Kucoba untuk membuka mata namun gagal. Aku masih lemah. Dengan mata tertutup
kubiarkan inderaku yang lain bekerja dengan baik. Ada seseorang yang memegang
lembut tanganku. Aku bisa menebaknya itu adalah kakakku. Ada bunyi alat yang
sering aku dengar bila menonton film dimana pemeran utamanya tergolek tak
berdaya di rumah sakit yang menunjukkan aktivitas dari jantungnya.
Sayup-sayup
kudengar ibuku sedang berbicara dengan seseorang, sesekali kudengar juga isak
tangisnya yang amat pelan.
“Maaf, ibu
bapak. Kami sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Ternyata semua sudah
terlambat. Leukemia stadium akhir. Saya tidak mengerti mengapa Erika tidak
merasakan apa-apa hingga akhirnya menjadi begitu parahnya. Maaf. Tapi kami
tidak bisa memperkirakan berapa lama lagi Erika akan bertahan.”
Sunyi. Bagai di
tampar dengan keras, aku merasa jantungku hampir berhenti. Entah aku tidak bisa
menangis. Aku hanya diam dan tetap menutup mataku saat kurasakan tangan kakakku
menggenggam tanganku dengan erat dan sepertinya bulir air mata menetes
membasahi tanganku. Tuhan, akan kah aku mati begitu cepat? Mengapa aku harus
mati secepat ini? Mengapa? Mengapa aku harus meninggalkan mereka yang aku sayangi
secepat ini? Mengapa Kau beri aku sakit ini?
Sepertinya
matahari sudah sangat tinggi saat kubuka mataku. Semalaman aku tidak membuka
mataku. Lemas, aku masih merasa lemas. Kini semuanya akan segera berakhir. Rasa
sakit ini akan berakhir dengan sangat cepat. Kulihat sekelilingku, sepertinya
sudah dipindah ke ruang perawatan biasa. Kakakku tidur di sofa yang ada di
dekat pintu. Tak tega aku membangunkannya. Haus, itu yang aku rasa pertama kali
aku buka mataku. Dengan mengerahkan segenap tenaga yang tersisa, aku mencoba
duduk. Namun gagal. Aku masih belum kuat.
“Dek, kamu mau
apa? Mau minum?” kakakku, Daniel, telah bangun dan menghampiriku.
“Haus, mas. Mau
minum,” ada yang aneh dengan suaraku, seperti tercekat.
“Bentar ya, mas
ambilin.”
Diraihnya gelas
yang berada di samping tempat tidur dan didekatkan padaku. Lega tenggorokan ini
kembali basah. Sedikit menyegarkanku. Tersenyum kutatap kakakku dengan penuh
rasa sayang. Terlintas di kepalaku aku akan segera pergi meninggalkannya, tak
akan ada lagi yang memainkan rambutku sesuka hati, tak ada lagi yang berebur
remote TV dengannya. Mas Daniel meraih tanganku dan diciumnya. Kuseka air mata
yang menetes di wajah tampan tegasnya. Ini lah wajah kakakku tersayang, yang
selalu mengkhawatirkanku dimana pun aku berada. Aku ingin menatapnya selama
mungkin sebelum aku pergi selamanya.
“Mas, jadi aku
bakal segera mati kan ya? Gimana rasanya ya? Apa kayak tidur apa gimana?”
kubuat nada bicaraku biasa saja saat mengucapkannya.
“Jangan bilang
gitu, dek. Gak ada yang tau kapan ajal seseorang itu datang. Kamu gak boleh
bilang gitu,” semakin deras air mata menetes di wajahnya, ini pertama kalinya
aku lihat dia menangis, pilu.
“Mas kan calon
dokter, pasti tau kalo umurku udah gak bisa lama lagi.”
“Jangan bilang
gitu, dek. Jangan pernah kamu bilang gitu,” tanpa banyak kata direngkuhnya
diriku dalam peluknya. Terisak pelan sambil terus mengatakan jangan pergi
dengan cepat. Tak kuasa kutahan air mataku, aku ikut menangis, bersamanya.
Satu minggu
penuh aku berada di rumah sakit. Bosan. Aku ingin kembali kuliah. Pasti
tugas-tugasku menumpuk banyak di sana. Aku tak tega meninggalkan kelompok
tugasku, karena itu berarti bagianku harus mereka kerjakan. Surat ijin tidak
kuliah sudah dilayangkan langsung ke bagian pengajaran. Tak tanggung-tanggung,
semua mata kuliah mendapat suratnya masing-masing. Aku harus kembali kuliah.
Aku ingin menghabiskan sisa waktuku dengan hidup normal seperti apa adanya
tanpa seorang pun tahu mengenai penyakitku.
Sudah kukatakan
mengenai keinginanku untuk kembali kuliah kepada orang tua dan kakakku.
Kukatakan juga pada mereka aku ingin menjalani sisa hidupku seperti biasanya.
Menjadi remaja normal yang biasa saja. Menepiskan pemikiran bahwa aku sedang
sakit.
“Tapi, dek,
badan kamu semakin lemah, apa kamu pikir bapak sama ibu sama mas Daniel tega
ninggalin kamu sendirian di sana?” tak bisa disembunyikan lagi nada penolakan
dalam apa yang aku dengar dari ibuku semalam.
“Aku kuat, bu.
Aku gak mau ninggalin semua gitu aja. Aku masih punya tanggung jawab sama kuliah
sama temen-temen juga. Aku gak bisa pergi gitu aja. Lagipula aku pengen
nikmatin sisa waktuku sama temen-temen juga.”
“Yaudahlah, bu.
Kalo adek pengennya gitu, jangan dikekang. Biar dia menentukan sendiri apa yang
menjadi inginnya. Adek kan udah dewasa, sudah saatnya dia diberi tanggung jawab
sama badannya sendiri,” aku senang karena kakakku mendukungku.
“Yowis. Nek kamu
memang maunya gitu ibu juga gak bisa maksa. Tapi kamu harus inget, jaga kondisi
kamu selama di kos. Makan harus teratur, jangan lupa obatnya, jangan kecapekan
juga. Ngerti?” dan akhirnya aku mendapatkan ACC untuk ideku yang satu ini.
Keluar dari
rumah sakit pada hari Minggu, dan kembali ke aktivitas semula di pagi harinya.
Menyenangkan sekali bisa kembali bertemu dengan teman-teman semua, dan tentu
menyenangkan sekali bisa bertemu walau hanya melihat dia yang kucintai. Sudah
kuduga semua ekspresi khawatir akan kudapat dari wajah sahabat-sahabatku begitu
aku muncul di kuliah pertama hari Senin itu.
“Astaga, Rika!
Kamu dari mana aja sih? Betah amat kamu di Semarang? Gak kangen apa sama aku?”
serbu Puspa saat pertama melihatku.
“Maaf ya,
sayang. Aku harus menyelesaikan sesuatu di rumah, jadi deh libur seminggu,”
ucapku.
“Payah ah, kita
kangen tau sama kamu. Seenaknya aja libur seminggu gak bilang-bilang.”
“Iya deh, maaf,”
kupeluk sahabatku itu dengan erat tanpa peduli dimana aku dan dia berada.
Semester 3
hampir berakhir, beban tugas sudah mulai meringan. Hanya tinggal 1 tugas saja
yang belum selesai. Dan harus segera selesai sebelum libur semester dimulai.
Aku semakin jarang melihatnya, mungkin lebih banyak menghabiskan waktu untuk
mengerjakan tugas, aku tahu itu, karena memang dia begitu.
Aku berjalan
menyusuri koridor selepas kuliah sore. Seorang diri dan berpapasan dengannya.
Nampak ekspresi yang tak bisa aku tafsirkan sebagai apa. Dia hanya memandangku
sekilas lalu mempercepat langkahnya. Aku tidak mengeluh. Aku sudah cukup senang
dia mau melihatku walau tak ada senyum bahkan sapa keluar darinya. Paling
tidak, dia masih mau memandangku. Itu saja.
Malam telah
beranjak keluar dari peraduannya, siap menggantikan siang yang telah bertugas
dengan sepenuh hatinya. Udara dingin begitu menusukku. Aku hanya bisa
menggeliat di balik selimut tebal untuk mengusir hawa dingin itu. Setengah
berharap ada yang mau memeluk dan menghangatkan badanku.
Muncul entah
dari mana sebuah ide. Bukan ide yang cukup menyenangkan sepertinya. Kuraih
ponselku yang tergeletak tak jauh dari ranjang. Kuketikkan kata demi kata yang
terlintas di kepalaku. Sambil menghela napas panjang kukirim pesan itu,
kepadanya. Tersenyum, aku jatuh dalam buai kegelapan menyesakkan jiwa. Aku
bagai kapas ringan yang terombang-ambing oleh angin.
Kegelapan
semakin menguasaiku hari demi hari. Sesak yang begitu parah mencoba membunuhku
secara perlahan. Aku mencoba bertahan dengan sesak ini. Aku ingin melihatnya
sekali lagi. Walau untuk yang terakhir kali. Sungguh, aku sangat ingin
melihatnya kembali, walau raga ini tak dapat menyentuhnya, paling tidak mata
ini masih dapat melihat senyumnya. Namun seakan kegelapan tak mau melepaskanku,
dia terus memaksaku untuk tinggal di kegelapan itu. Aku ingin cahaya. Aku ingin
dia. Semakin jauh dan jauh kegelapan membawaku. Pergi dan tak akan kembali. Aku
telah selesai menunggu vonisku, dan inilah vonisku. Menghilang dan mati. Disappear
and die.
