Wednesday, January 23, 2013
Kecewa
Tuhan, kenapa aku selalu merasa kecewa? Aku pernah punya salah apa? Kenapa selalu aku yang sakit dan kecewa? Aku tak tau aku harus bagaimana. Aku lelah, Tuhan. Aku lelah jadi seperti ini.
Monday, January 7, 2013
2013 Dalam Cerita
Well, welcome 2013 and goodbye 2012.
Mungkin kalimat itu yang bisa kuucapkan sekarang. Yah, sudah berganti tahun, tentu. Tapi apa isi hati ini sudah berganti? Tidak, belum. Masih sama seperti sebelumnya. Masih penuh dan berisi dia, dia yang selalu membuatku terpana saat melihatnya. Mungkin terpana untuk waktu itu, waktu aku masih menjadi pelangi di matanya. Sekarang aku tak urungnya sebuah mendung yang menggantung di tengah cerahnya sinar matahari yang menyengat kulit.
Mungkin dapat dikatakan aku senang saat tahun sudah berganti, "sedikit" maksudku. Mengerti maksudku? Meninggalkan beberapa atau mungkin lebih kenangan yang meresap di relung hati yang paling dalam. Memulihkan barang sedikit demi sedikit luka yang menghiasi setiap senyum. Mengurangi perih yang muncul di setiap tarikan napas kenangan yang muncul. Membuang setiap jengkal kekecewaan yang mulai memuncak kembali.
Kereta itu mulai meninggalkan stasiunnya. Entahlah, tapi sepertinya berat meninggalkan peraduan itu. Kereta itu seperti berjalan di tempat, sepertinya. Dia mungkin terlihat beranjak, tapi, hey, tidak kah kau perhatikan dengan seksama? Bahkan rodanya pun tidak berputar. Baik, aku bohong, aku bohong mengenai kereta yang mulai meninggalkan stasiunnya. Kereta itu masih berhenti di situ. Entah apa yang dia tunggu. Tidak nampak ada yang memasuki kereta itu. Rusak? Entah. Aku tidak tahu, yang pasti kereta itu belum bergerak maju dari perhentiannya.
Gurun itu belum menampakkan oasenya. Masih tandus dan kering. Meninggalkan serak kekeringan yang meluluhlantakkan setiap helai hembusan angin yang menyegarkan dahaga. Langkah demi langkah seorang pengembara membelah tandusnya gurun. Tampak gurat lelah dan sedih di wajahnya. Dia butuh oase itu, dia butuh. Seakan pasrah dengan kematian yang menunggu, dia jatuh dan menitikkan air matanya. Dia lelah, dia haus, dia lapar, dan dia ingin. Ingin sesuatu yang bisa melegakan semua itu. Tetes demi tetes air mata memenuhi pipinya, tanpa pikir panjang dan tanpa kejijikan yang luar biasa, dia minum air matanya. Sekedar untuk melegakan dahaga atau untuk menyembunyikan dari dunia akan kesedihannya? Mungkin alasan yang kedua. Dia tak ingin satu pun tahu air matanya. Dia biasanya adalah orang yang tegar dan tak pernah menangis. Namun kini dia tak lagi setegar dan sekuat dulu. Dia hanya ingin menutupi fakta bahwa dia telah menitikkan air mata. Untuk siapa? Hanya untuk dia, pengembara lain di gurun yang satunya. Dia tak ingin, bahkan semut, tau akan air matanya. Biar hanya dia dan hatinya yang tau, masih ada doa di setiap tangisnya, doa yang hanya untuk pengembara lain.
Laut masih menampakkan ombak ganasnya. Menyapu setiap inci perasaan yang tak terkira pedihnya. Menebarnya air asin di tiap jengkal luka di dalamnya. Perih, semakin besar badai datang, semakin perih luka terasa. Kapan badai ini akan berhenti? Entahlah. Bahkan waktu pun tak bisa menjawabnya. Badai, cepatlah kau berhenti.
Labels:
ceritaku
